Minggu, 15 Mei 2016

MASALAH DALAM KELUARGA -- Karier Istri Lebih Besar dari Suami




Banyak keluarga yang menjalani kehidupannya penuh dengan ketegangan dan kekhawatiran. Karena dipicu oleh berbagai-bagai masalah yang muncul seperti halnya suami yang tidak menerima keberadaan istri karena karier/gaji istri lebih melesat dibandingkan suami. Suami yang oleh karena kedudukan istri dalam kariernya '' menjadi cemburu '' karena acapkali istri pulang malam. Terkadang pula ia mengurung diri dalam kamar saat istrinya menerima tamu perusahaan tempatnya bekerja. Sehingga terus-menerus membuatnya minder dalam pertemuan dan jamuan makan malam yang diadakan oleh mitra bisnis istrinya walaupun istri selalu berusaha mengikut-sertakan dia dalam setiap pembicaraan namun suaminya tidak bisa membuka atau melanjutkan pembicaraan kecuali kalau ditanya. Dibalik tekanan itulah tidak sedikit dari mereka yang mengeluarkan perkataan-perkataan yang menyakitkan yang orientasinya kepada tuduhan sebagai sikap penolakan.
Fenomena perempuan bekerja sebenarnya bukanlah barang baru di tengah masyarakat
kita. Sejak zaman purba ketika manusia masih mencari penghidupan dengan cara berburu dan meramu, seorang istri sesungguhnya sudah bekerja. Sementara suaminya pergi berburu, di rumah ia bekerja menyiapkan makanan dan mengelola hasil buruan untuk ditukarkan dengan bahan lain yang dapat dikomsumsi keluarga. Karena sistem perekonomian yang berlaku pada masyarakat purba adalah sistem barter, maka pekerjaan perempuan meski sepertinya masih berkutat di sekitar sektor domestik namun sebenarnya mengandung nilai ekonomi yang sangat tinggi.
Kemudian ketika masyarakat berkembang menjadi masyarakat agraris hingga kemudian industri, keterlibatan perempuan pun sangat besar, bahkan dalam masyarakat berladang berbagai suku di dunia yang banyak menjaga ternak dan mengelola ladang dengan baik itu adalah perempuan bukan laki-laki. Hal ini jelas menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan yang bekerja di luar rumah memang bukan baru-baru saja tetapi sudah sejak zaman dulu bahkan Alkitab pun tidak beda jauh dengan penilaianan tersebut bahwa hal tersebut sah-sah saja. Dampak lain adalah karena jenjang pendidikan perempuan yang cukup tinggi otomatis berimbas pada posisi yang lebih nyaman dan cukup penting dalam lingkungan kerjanya. Itulah sebabnya seorang istri yang berpenghasilan lebih besar dari suami bukanlah hal yang aneh dan lucu atau sebuah masalah, karena bukan lagi zamannya bahwa yang berada di luar rumah mutlak di lakukan oleh suami. Walaupun pola pikir dalam masyarakat cenderung menempatkan wanita dalam wilayah domestik yang bertanggung jawab terhadap urusan pengasuhan anak dan dapur. Sementara lelaki berperan sebagai pencari nafkah dan tulang punggung keluarga. Dalam artian sebagian besar orang menganut nilai-nilai bahwa lelaki adalah pemimpin perempuan dan perempuan "cuma pengikut". Suami memperoleh "kedudukan" tertinggi, yakni sebagai kepala keluarga dan bertugas mencari nafkah, sedang istri mengurus anak dan keluarga, “Nah, pertayaan untuk disimak bersama bahwa ‘apakah itu benar’?”.
Sebenarnya kalau diamati hampir semua orang tidak mempersoalkan hal tersebut, akan tetapi bagi sebagian suami yang berada dalam posisi ini ada dari mereka yang sama  sekali tidak bisa menerima keadaan itu. Mereka terus menyiksa dirinya serta semakin terpuruk ketika karier istri yang lebih cemerlang dari suami, karena menganggap penghasilan itu amat berarti bahkan identik dengan "Harga Diri" sebagai kepala keluarga.
Tekanan terus bertambah apalagi jika ditambah suara “sumbang” dari lingkungan dimana mereka ada (lingkungan di sini bisa berarti lingkungan keluarga maupun lingkungan pekerjaan), kalau suami ternyata lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah dan tidak bisa berbuat apa-apa. Dan kemungkinan lain timbulnya masalah karena dari istri itu sendiri yang juga tidak menyadari kalau suami tertekan karena perlakuannya yang sangat ‘diktator/ngebos’ di rumah. Semisal, di luar rumah istri berprofesi sebagai seorang direktur. Tetapi, ketika kembali ke rumah ia tidak lagi mengingat perannya sebagai seorang istri. Ia membawa kebiasaannya di kantor ke rumah. Ketika kembali ke rumah, ia tidak kembali pada perannya sebagai pendamping suami sehingga tidak jarang istri yang merasa penghasilannya lebih besar merasa punya kuasa lebih dalam mengatur keuangan. Akibatnya suami seolah tidak memiliki harga diri saat harus berhadapan dengan persoalan keuangan keluarga. Apalagi kalau istri rajin mengomel dan sering mengungkit soal uang, suami normal pun lama-lama juga akan minder serta tidak tahan dengan apa yang ia hadapi. Kemungkinan lain yang sering muncul akibat kondisi tersebut adalah munculnya egoisme dari istri yaitu tidak ada lagi ketergantungan materi terhadap suami, terlebih jika dia menjadi tulang punggung keluarga. Egoisme ini juga dapat berkembang menjadi "Pembangkangan" terhadap perannya sebagai istri/ibu yg baik. Maka ditemukanlah ganjalan diantara mereka mengenai rejeki yang dihasilkan bersama (mengenai penghasilan suami dan istri). Padahal ketika mereka memutuskan untuk menjalin suatu pernikahan, terlebih dahulu mereka menyetujui komitmen dan aturan perkawinan di dalamnya, bahwa rejeki yang dihasilkan setelah menjadi suami istri adalah rejeki yang harus dikelola bersama. Tapi pada kenyataannya, beberapa orang istri-istri terdahulu mengatakan bahwa ”Uang suami adalah uang istri, tapi uang istri… adalah uang istri”, ini adalah pendapat keliru  yang jika kita megusutnya sampai kemanapun, pendapat ini tetaplah keliru. Dengan kemajuan sang istri ini, tanpa sadar suami sudah tergeser perannya. Ia merasa canggung karena istri sudah menempatkan suami di tempat yang ia sendiri tidak merasa comfortable atau pas yaitu di depan mitra bisnisnya. Ia merasa sebagai kepala rumah tangga yang belum layak dihormati, karena belum berhasil dalam karier. Sehingga keinginan istri agar suaminya dapat tertolong dengan hal tersebut justru membuat suaminya merasa terpojok dan mengantar menjadi sebuah musibah. Karena gaya hidup yang mengikuti penghasilan istri membuatnya jadi serba salah. Itulah sebabnya karena tidak memahami serta tidak siap menerima yang sesungguhnya maka hal ini kerap dijadikan persoalan bahkan dijadikan penyebab terjadinya perceraian.
Jadi cara untuk menyikapi hal tersebut adalah berawal dari keluarga itu sendiri yakni dengan sikap saling memahami dan menerima kelebihan dan kekurangan satu dengan yang lain; tetap menikmati dan bersikap santai walaupun banyak komentar dari lingkungan yang tidak setuju dengan keadaan mereka. Dan justru seharusnya mereka bersyukur karena ternyata masih ada cara untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam keluarga mereka karena kesediaaan istri yang mau menjadi tulang punggung keluarga, daripada mesti mengemis atau mencuri karena ingin makan. Hal inilah yang penting disadari suami istri yang tidak siap dengan keadaan ini terutama kepada suami karena ketidaksetujuannya atau persoalan harga diri yang sampai-sampai membuatnya merasa terpuruk dengan cara mengambil jalan untuk mengakhirinya dalam perceraian. Bukankah sikap seperti itu kesannya terlalu kekanak-kanakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar