
Fenomena perempuan
bekerja sebenarnya bukanlah barang baru di tengah masyarakat
kita. Sejak zaman purba ketika manusia masih mencari penghidupan dengan cara berburu dan meramu, seorang istri sesungguhnya sudah bekerja. Sementara suaminya pergi berburu, di rumah ia bekerja menyiapkan makanan dan mengelola hasil buruan untuk ditukarkan dengan bahan lain yang dapat dikomsumsi keluarga. Karena sistem perekonomian yang berlaku pada masyarakat purba adalah sistem barter, maka pekerjaan perempuan meski sepertinya masih berkutat di sekitar sektor domestik namun sebenarnya mengandung nilai ekonomi yang sangat tinggi.
kita. Sejak zaman purba ketika manusia masih mencari penghidupan dengan cara berburu dan meramu, seorang istri sesungguhnya sudah bekerja. Sementara suaminya pergi berburu, di rumah ia bekerja menyiapkan makanan dan mengelola hasil buruan untuk ditukarkan dengan bahan lain yang dapat dikomsumsi keluarga. Karena sistem perekonomian yang berlaku pada masyarakat purba adalah sistem barter, maka pekerjaan perempuan meski sepertinya masih berkutat di sekitar sektor domestik namun sebenarnya mengandung nilai ekonomi yang sangat tinggi.
Kemudian ketika
masyarakat berkembang menjadi masyarakat agraris hingga kemudian industri,
keterlibatan perempuan pun sangat besar, bahkan dalam masyarakat berladang berbagai
suku di dunia yang banyak menjaga ternak dan mengelola ladang dengan baik itu
adalah perempuan bukan laki-laki. Hal ini jelas menunjukkan bahwa keterlibatan
perempuan yang bekerja di luar rumah memang bukan baru-baru saja tetapi sudah
sejak zaman dulu bahkan Alkitab pun tidak beda jauh dengan penilaianan tersebut
bahwa hal tersebut sah-sah saja. Dampak lain
adalah karena jenjang pendidikan perempuan yang cukup tinggi otomatis berimbas
pada posisi yang lebih nyaman dan cukup penting dalam lingkungan kerjanya. Itulah
sebabnya seorang istri yang berpenghasilan lebih besar dari suami bukanlah hal
yang aneh dan lucu atau sebuah masalah, karena bukan lagi zamannya bahwa yang
berada di luar rumah mutlak di lakukan oleh suami. Walaupun pola pikir dalam
masyarakat cenderung menempatkan wanita dalam wilayah domestik yang bertanggung
jawab terhadap urusan pengasuhan anak dan dapur. Sementara lelaki berperan
sebagai pencari nafkah dan tulang punggung keluarga. Dalam artian sebagian besar
orang menganut nilai-nilai bahwa lelaki adalah pemimpin perempuan dan perempuan
"cuma pengikut". Suami memperoleh "kedudukan" tertinggi,
yakni sebagai kepala keluarga dan bertugas mencari nafkah, sedang istri
mengurus anak dan keluarga, “Nah, pertayaan untuk disimak bersama bahwa ‘apakah
itu benar’?”.
Sebenarnya kalau diamati hampir semua orang tidak
mempersoalkan hal tersebut, akan tetapi bagi sebagian suami yang berada dalam
posisi ini ada dari mereka yang sama sekali
tidak bisa menerima keadaan itu. Mereka terus menyiksa dirinya serta semakin
terpuruk ketika karier istri yang lebih cemerlang dari suami, karena menganggap
penghasilan itu amat berarti bahkan identik dengan "Harga
Diri" sebagai kepala keluarga.
Tekanan terus bertambah apalagi jika ditambah suara “sumbang”
dari lingkungan dimana mereka ada (lingkungan di sini bisa berarti lingkungan
keluarga maupun lingkungan pekerjaan), kalau suami ternyata lebih banyak
menghabiskan waktunya di rumah dan tidak bisa berbuat apa-apa. Dan kemungkinan
lain timbulnya masalah karena dari istri itu sendiri yang juga tidak menyadari
kalau suami tertekan karena perlakuannya yang sangat ‘diktator/ngebos’ di
rumah. Semisal, di luar rumah istri berprofesi sebagai seorang direktur. Tetapi,
ketika kembali ke rumah ia tidak lagi mengingat perannya sebagai seorang istri.
Ia membawa kebiasaannya di kantor ke rumah. Ketika kembali ke rumah, ia tidak
kembali pada perannya sebagai pendamping suami sehingga tidak jarang istri yang
merasa penghasilannya lebih besar merasa punya kuasa lebih dalam mengatur
keuangan. Akibatnya suami seolah tidak memiliki harga diri saat harus
berhadapan dengan persoalan keuangan keluarga. Apalagi kalau istri rajin mengomel
dan sering mengungkit soal uang, suami normal pun lama-lama juga akan minder
serta tidak tahan dengan apa yang ia hadapi. Kemungkinan lain yang sering
muncul akibat kondisi tersebut adalah munculnya egoisme dari istri yaitu tidak ada
lagi ketergantungan materi terhadap suami, terlebih jika dia menjadi tulang
punggung keluarga. Egoisme ini juga dapat berkembang menjadi
"Pembangkangan" terhadap perannya sebagai istri/ibu yg baik. Maka ditemukanlah
ganjalan diantara mereka mengenai rejeki yang dihasilkan bersama (mengenai
penghasilan suami dan istri). Padahal ketika mereka memutuskan untuk menjalin
suatu pernikahan, terlebih dahulu mereka menyetujui komitmen dan aturan perkawinan
di dalamnya, bahwa rejeki yang dihasilkan setelah menjadi suami istri adalah
rejeki yang harus dikelola bersama. Tapi pada kenyataannya, beberapa orang
istri-istri terdahulu mengatakan bahwa ”Uang suami adalah uang istri, tapi uang
istri… adalah uang istri”, ini adalah pendapat keliru yang jika kita megusutnya sampai kemanapun,
pendapat ini tetaplah keliru. Dengan kemajuan sang istri ini, tanpa sadar suami
sudah tergeser perannya. Ia merasa canggung karena istri sudah menempatkan
suami di tempat yang ia sendiri tidak merasa comfortable atau pas yaitu di
depan mitra bisnisnya. Ia merasa sebagai kepala rumah tangga yang belum layak
dihormati, karena belum berhasil dalam karier. Sehingga keinginan istri agar
suaminya dapat tertolong dengan hal tersebut justru membuat suaminya merasa
terpojok dan mengantar menjadi sebuah musibah. Karena gaya hidup yang mengikuti penghasilan istri
membuatnya jadi serba salah. Itulah sebabnya karena tidak memahami serta tidak
siap menerima yang sesungguhnya maka hal ini kerap dijadikan persoalan bahkan
dijadikan penyebab terjadinya perceraian.
Jadi cara untuk menyikapi hal tersebut adalah berawal
dari keluarga itu sendiri yakni dengan sikap saling memahami dan menerima
kelebihan dan kekurangan satu dengan yang lain; tetap menikmati dan bersikap
santai walaupun banyak komentar dari lingkungan yang tidak setuju dengan
keadaan mereka. Dan justru seharusnya mereka bersyukur karena ternyata masih
ada cara untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam keluarga mereka karena kesediaaan
istri yang mau menjadi tulang punggung keluarga, daripada mesti mengemis atau
mencuri karena ingin makan. Hal inilah yang penting disadari suami istri yang
tidak siap dengan keadaan ini terutama kepada suami karena ketidaksetujuannya
atau persoalan harga diri yang sampai-sampai membuatnya merasa terpuruk dengan
cara mengambil jalan untuk mengakhirinya dalam perceraian. Bukankah sikap
seperti itu kesannya terlalu kekanak-kanakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar