Minggu, 15 Mei 2016

KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER



BAB I
PENDAHULUAN


1.      Latar Belakang

Untuk mereka yang bergiat dalam isu perempuan mungkin sudah sering mendengar dan paham tentang kesetaraan dan keadilan gender, namun tidak demikian dengan orang awam atau untuk masyarakat kebanyakan. Buktinya, pertanyaan tentang itu masih sering muncul.
Oleh karena itu, berbeda dengan biasanya, bagian ini tidak mengupas secara khusus tentang kekerasan terhadap perempuan, walaupun demikian masih sangat terkait dengan persoalan kekerasan terhadap perempuan. Untuk memperbincangkan beberapa persoalan besar itu, ada baiknya kalau kita mulai dari persoalan yang sangat sederhana dalam kehidupan kita. Mungkin hal ini akan membantu untuk memahami beberapa persoalan tersebut.
Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) sudah menjadi isu yang sangat penting dan sudah menjadi komitmen bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia sehingga seluruh negara menjadi terikat dan harus melaksanakan komitmen tersebut. Selama ini memang disadari bahwa keberhasilan pembangunan nasional di Indonesia baik yang dilaksanakan oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat sangat tergantung dari peran serta laki-laki dan perempuan sebagai pelaku dan pemanfaat hasil pembangunan. Sehingga pada pelaksanaannya sampai saat ini peran serta kaum perempuan belum dioptimalkan. Oleh karena itu program pemberdayaan perempuan telah menjadi agenda bangsa dan memerlukan dukungan semua pihak[1].
Dan kalau dalam beberapa dasa warsa terakhir ini, perbincangan mengenai gender telah menjadi salah satu agenda yang penting. Banyak seminar, konsultasi, lokakarya maupun diskusi-diskusi pada aras lokal, nasional, regional maupun internasional telah digelar dalam membicarakan pokok yang satu ini. Maka tulisan ini akan mencoba membahas pertayaan-pertayaan awal tersebut yakni bagaimana sesungguhnya dengan kesetaraan dan keadilan gender itu. Kemudian menguraikan secara kristis problem-problem kesetaraan gender dalam perspektif pendidikan, politik dan agama serta berusaha untuk mencari solusinya. Proplem-problem kesetaraan gender ini misalnya

BAB II
PEMBAHASAN


1.      Pengertian
a.      Gender
Gender  sering diartikan sebagai jenis kelamin.  Jenis kelamin atau seks yang dimaksud disini adalah  penan-daan individu manusia  ke dalam kategori laki-laki dan perempuan  berdasar  karakteristik biologis (genital eksternal dan  organ-organ seks internal), genetik (kromosom) dan hormon. 
Gender dapat pula diartikan sebagai perbedaan-perbedaan sifat, peranan, fungsi, dan status antara laki-laki dan perempuan yang tidak berdasarkan pada perbedaan biologis, tetapi berdasarkan pada relasi sosial budaya yang dipengaruhi oleh struktur masyarakatnya yang lebih luas.  Gender merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang kemudian dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman.[2] Konstruksi sosial ini dimaknai dalam beberapa hal misalnya tindakan dalam kehidupan sehari-hari mengenai
      b.   Kesetaraan dan Keadilan Gender
Kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam agama, kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas), serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan.
Keadilan gender adalah suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki. Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi, dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki. Bentuk-bentuk sosial dari kelima bagian ini, terutama pembakuan peran adalah berdampak lebih jauh pada peminggiran terhadap perempuan, baik secara ekonomis, politik, sosial dan budaya. Kemudian untuk beban ganda bagi kaum perempuan bentuk sosialnya misalnya dalam hal politik, pemerintahan, perusahaan, sampai pada perempuan yang bekerja di pabrik-pabrik. Lain halnya dengan subordinasi bentuk sosialnya adalah keterlibatan dalam hal pengambilan keputusan. Lalu untuk marginalisasi bentuk sosialnya adalah mengatur warganya melalaui perangkat hukum yang disusun bersama. Dan untuk kekerasan adalah tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau menghina misalnya manipulasi, eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan, dan isolasi sosial.

2.      Bentuk Kesetaraan
       a.  Kesetaraan Gender dalam Pendidikan
     Banyak laki-laki mengatakan, sungguh tidak mudah menjadi laki-laki karena masyarakat memiliki ekspektasi yang berlebihan terhadapnya. Mereka haruslah sosok kuat, tidak cengeng, dan perkasa. Ketika seorang anak laki-laki diejek, dipukul, dan dilecehkan oleh kawannya yang lebih besar, ia biasanya tidak ingin menunjukkan bahwa ia sebenarnya sedih dan malu. Sebaliknya, ia ingin tampak percaya diri, gagah, dan tidak memperlihatkan kekhawatiran dan ketidakberdayaannya.
Ini menjadi beban yang sangat berat bagi anak laki-laki yang senantiasa bersembunyi di balik topeng maskulinitasnya. Kenyataannya juga menunjukkan, menjadi perempuan pun tidaklah mudah. Stereotip perempuan yang pasif, emosional, dan tidak mandiri telah menjadi citra baku yang sulit diubah. Karenanya, jika seorang perempuan mengekspresikan keinginan atau kebutuhannya maka ia akan dianggap egois, tidak rasional dan agresif. Hal ini menjadi beban tersendiri pula bagi perempuan.
Keadaan seperti ini menunjukkan adanya ketimpangan atau bias gender yang sesungguhnya merugikan baik bagi laki-laki maupun perempuan. Bias gender ini tidak hanya berlangsung dan disosialisasikan melalui proses serta sistem pembelajaran di sekolah, tetapi juga melalui pendidikan dalam lingkungan keluarga. Jika ibu atau pembantu rumah tangga (perempuan) yang selalu mengerjakan tugas-tugas domestik seperti memasak, mencuci, dan menyapu, maka akan tertanam di benak anak-anak bahwa pekerjaan domestik memang menjadi pekerjaan perempuan.
Kemudian dalam masalah pendidikan secara khusus dalam buku ajar misalnya, banyak ditemukan gambar maupun rumusan kalimat yang tidak mencerminkan kesetaraan gender. Sebut saja gambar seorang pilot selalu laki-laki karena pekerjaan sebagai pilot memerlukan kecakapan dan kekuatan yang "hanya" dimiliki oleh laki-laki.
Sementara gambar guru yang sedang mengajar di kelas selalu perempuan karena guru selalu diidentikkan dengan tugas mengasuh atau mendidik. Ironisnya siswa pun melihat bahwa meski guru-gurunya lebih banyak berjenis kelamin perempuan, tetapi kepala sekolahnya umumnya laki-laki.
Dalam rumusan kalimat pun demikian. Kalimat seperti "Ini ibu Budi" dan bukan "ini ibu Suci", "Ayah membaca Koran dan ibu memasak di dapur" dan bukan sebaliknya "Ayah memasak di dapur dan ibu membaca koran", masih sering ditemukan dalam banyak buku ajar atau bahkan contoh rumusan kalimat yang disampaikan guru di dalam kelas. Rumusan kalimat tersebut mencerminkan sifat feminim dan kerja domestik bagi perempuan serta sifat maskulin dan kerja publik bagi laki-laki.
Demikian pula dalam perlakuan guru terhadap siswa, yang berlangsung di dalam atau di luar kelas. Misalnya ketika seorang guru melihat murid laki-lakinya menangis, ia akan mengatakan "Masak laki-laki menangis. Laki-laki nggak boleh cengeng". Sebaliknya ketika melihat murid perempuannya naik ke atas meja misalnya, ia akan mengatakan "anak perempuan kok tidak tahu sopan santun". Hal ini memberikan pemahaman kepada siswa bahwa hanya perempuan yang boleh menangis dan hanya laki-laki yang boleh kasar dan kurang sopan santunnya.
Dalam upacara bendera di sekolah selalu bisa dipastikan bahwa pembawa bendera adalah siswa perempuan. Siswa perempuan itu dikawal oleh dua siswa laki-laki. Hal demikian tidak hanya terjadi di tingkat sekolah, tetapi bahkan di tingkat nasional. Paskibraka yang setiap tanggal 17 Agustus bertugas di istana negara, selalu menempatkan dua perempuan sebagai pembawa bendera pusaka dan duplikatnya. Belum pernah terjadi dalam sejarah: laki-laki yang membawa bendera pusaka itu.
Hal ini menanamkan pengertian kepada siswa dan masyarakat pada umumnya bahwa tugas pelayanan seperti membawa bendera, lebih luas lagi, membawa baki atau pemukul gong dalam upacara resmi sudah selayaknya menjadi tugas perempuan. Semuanya ini mengajarkan kepada siswa tentang apa yang layak dan tidak layak dilakukan oleh laki-laki dan apa yang layak dan tidak layak dilakukan oleh perempuan. Bias gender yang berlangsung di rumah maupun di sekolah tidak hanya berdampak negatif bagi siswa atau anak perempuan tetapi juga bagi anak laki-laki. Anak perempuan diarahkan untuk selalu tampil cantik, lembut, dan melayani. Sementara laki-laki diarahkan untuk tampil gagah, kuat, dan berani. Ini akan sangat berpengaruh pada peran sosial mereka di masa datang.
Singkatnya, ada aturan-aturan tertentu yang dituntut oleh masyarakat terhadap perempuan dan laki-laki. Jika perempuan tidak dapat memenuhinya ia akan disebut tidak tahu adat dan kasar. Demikian pula jika laki-laki tidak dapat memenuhinya ia akan disebut banci, penakut atau bukan laki-laki sejati.
William Pollacek dalam Real Boys menunjukkan penemuannya, sebenarnya, bayi laki-laki secara emosional lebih ekspresif dibandingkan bayi perempuan. Namun ketika sampai pada usia sekolah dasar, ekspresi emosionalnya hilang. Laki-laki pada usia lima atau enam tahun belajar mengontrol perasaan-perasaannya dan mulai malu mengungkapkannya.[3]
Penyebabnya adalah pertama, ada proses menjadi kuat bagi laki-laki yang selalu diajari untuk tidak menangis, tidak lemah, tidak takut. Kedua, proses pemisahan dari ibunya, yakni proses untuk tidak menyerupai ibunya yang dianggap masyarakat sebagai perempuan lemah dan harus dilindungi. Meski berat bagi anak laki-laki untuk berpisah dari sang ibu, namun ia harus melakukannya jika tidak ingin dijuluki sebagai “anak mami”.
Tidak mengherankan jika banyak guru mengatakan bahwa siswa laki-laki lebih banyak masuk dalam daftar penerima hukuman, gagal studi, dan malas. Penyebabnya menurut Sommers, karena anak laki-laki lebih banyak mempunyai persoalan hiperaktif yang mengakibatkan kemunduran konsentrasi di kelas. Sementara itu, menjelang dewasa, pada anak perempuan selalu ada tuntutan-tuntutan di luar dirinya yang memaksa mereka tidak memiliki pilihan untuk bertahan. Satu-satunya cara yang dianggap aman adalah dengan membunuh kepribadian mereka untuk kemudian mengikuti keinginan masyarakat dengan menjadi suatu objek yang diinginkan oleh laki-laki. Objek yang diinginkan ini selalu berkaitan dengan tubuhnya.
Jadilah mereka kemudian anak-anak perempuan yang mengikuti stereotip yang diinginkan seperti tubuh langsing, wajah putih nan cantik, kulit halus dll. Tidak heran jika semakin banyak anak perempuan mengusahakan penampilan sempurna bak peragawati dengan cara-cara yang justru merusak tubuhnya.
Padahal, di sekolah, siswa perempuan umumnya memiliki prestasi akademik yang lebih baik jika dibandingkan dengan laki-laki. Situasi dan kondisi memungkinkan mereka jauh lebih tekun dan banyak membaca buku.
      b.  Kesetaraan Gender dalam Politik
Gambaran umum dari partisipasi perempuan dan politik di Indonesia memperlihatkan representasi yang sangat rendah dalam semua tingkatan pengambilan keputusan, baik di tingkat eksekutif, legislative, yudikatif, maupun birokrasi pemerintahan, partai politik, dan kehidupan publik lainnya.
Selain rendahnya representasi atau keterwakilan perempuan dalam kehidupan politik dalam arti jumlah atau kuantitas, maka ada gambaran lain yang melengkapinya yakni persoalan kualitas. Partisipasi mereka di bidang politik selama ini, jika itu memang ada, hanya terkesan memainkan peran sekuler. Mereka hanya dilihat sebagai pemanis atau penggembira, dan ini mencerminkan rendahnya pengetahuan mereka di bidang politik. Perempuan sering diidentikkan menjadi mayoritas kelompok dalam masyarakat yang paling miskin dan tertindas. Berbagai kebijakan politik dan ekonomi di masa lalu memperlihatkan dengan jelas kepada kita betapa perempuan menanggung beban paling berat dan penderitaan yang tiada terperi atas nama Pembangunan Nasional yang merupakan perpaduan antara proses pembangunan ekonomi (baca: pertumbuhan ekonomi) dan pentingnya stabilitas politik.
Ide bahwa politik bukan wilayah bagi perempuan adalah ide yang selalu didengungkan selama berabad-abad, dan ternyata memang sangat efektif untuk membatasi perempuan untuk tidak memasuki wilayah itu. Akibatnya nampak bahwa di dalamnya ada marjinalisasi dan pengucilan perempuan dari kehidupan politik. Walaupun, saat ini hak-hak politik bagi perempuan sudah banyak diakui, namun adanya hak-hak politik tersebut tidak menjamin adanya pemerintahan/sistem politik yang demokratis di mana asas partisipasi, representasi dan akuntabilitasi di beri makna yang sesungguhnya. Ini artinya adanya keterwakilan di dalamnya, dan berbagai kebijakan yang muncul yang memiliki sensitivitas gender, tidak serta merta terwujud meskipun hak-hak politik perempuan sudah diakui. Perempuan sebagai warga Negara seharusnya dapat berpartisipasi secara mandiri dalam proses demokrasi ini.[4]

       c.  Kesetaraan Gender dalam Agama
Walaupun istilah gender bukan istilah agama, namun masalah gender telah menjadi masalah agama juga. Alasannya, ketidakadilan gender masih dijumpai di dalam agama-agama. Malahan, agama sering dituding sebagai salah satu institusi yang melanggengkan ketimpangan dan ketidakadilan gender. Di dalam agama Kristen khususnya nampak bahwa hidup beragama atau bergereja masih banyak diterapkan konsep-konsep stereotype misalnya dalam hal jabatan gerejawi posisi perempuan ditetapkan untuk tidak lebih tinggi dari laki-laki, sehingga sistem dan  struktur ini yang menghambat tercapainya kesetaraan gender. Keadaan ini tentu tidak terjadi dengan sendirinya. Sientje Madjrentek berpendapat bahwa semua penerapan yang menghambat terjadinya kesetaraan gender merupakan indikasi adanya pemahaman yang keliru atas ajaran agama. Dan problem-problem kesetaraan gender dalam agama disebabkan oleh:
1.               Paham dualistis dalam mengerti dan menerapkan ajaran agama. Ajaran dualisme yang kelihatan dalam macam-macam pembelahan (dikotomi) seperti jiwa-badan, sakral-sekular, sektor publik-domestik, dll sangat mempengaruhi pemahaman dan penerapan teologi. Pemahaman tentang laki-laki mengakibatkan pembatasan peran dalam kegiatan keagamaan.
2.               Pengaruh dualisme dalam teologi Kristen juga menyebabkan pertentangan.
3.               Antara pemahaman dan penerapan. Dalam pengaruh dualisme itu, gereja yang mewakili kerajaan Allah dan pada waktu yang sama merupakan lembaga masyarakat yang terikat pada norma-norma yang berlaku pada tempat dan budaya tertentu, tidak memperdengarkan suara yang tegas dalam memperjuangkan kesetaraan gender.
4.               Hal yang menghambat tercapainya kesetaraan gender dari perspektif agama adalah status quo dalam pemahamannya. Menurutnya, masih banyak orang beragama, termasuk para ulama, menganut paham tersebut. Status quo ini bila diterapkan dalam hidup beragama akan menghambat kemajuan dan pembaharuan.
5.               Hal lain yang turut melanggengkan ketidakadilan gender adalah cara yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam menggunakan dan menafsirkan kitab suci. Dimana sebagian orang mengalimatkan hal-hal bereda dan nampaknya bertentangan di dalam Alkitab sebagai unsure-unsur yang merendahkan. Sebagian lagi menyebutnya sebagai aspek-aspek yang menindas. Menurut sumber-sumber tersebut, aspek yang memuliakan dan membebaskan di dalam Alkitab nampak dalam berita tentang penciptaan perempuan dan laki-laki sebagai gambar atau citra Allah, dan berita tentang laki-laki dan perempuan yang satu dalam Yesus Kristus, sedangkan contoh aspek yang merendahkan dan menindas di dalam Alkitab nampak dalam berita tentang perempuan yang dilarang berbicara dalam ibadah.
Aspek-aspek yang menindas lebih digarisbawahi daripada aspek-aspek yang membebaskan. Bagian-bagian tertentu dari Alkitab yang cenderung melanggengkan ketidakadilan gender menjadi acuan prioritas ketimbang bagian-bagian yang menyetarakannya.[5]
3.      Analisis Sosial                 
Lalu apa yang dapat dilakukan terhadap fenomena bias gender dalam pendidikan, politik dan agama ini? Keterlibatan semua pihak sangat dibutuhkan bagi terwujudnya kehidupan yang lebih egaliter. Kesetaraan gender dalam pendidikan seharusnya mulai ditanamkan pada anak sejak dari lingkungan keluarga. Ayah dan ibu yang saling melayani dan menghormati akan menjadi contoh yang baik bagi anak-anaknya. Demikian pula dalam hal memutuskan berbagai persoalan keluarga, tentu tidak lagi didasarkan atas "apa kata ayah". Jadi, orang tua yang berwawasan gender diperlukan bagi pembentukan mentalitas anak baik laki-laki maupun perempuan yang kuat dan percaya diri.
                     Memang tidak mudah bagi orang tua untuk melakukan pemberdayaan yang setara terhadap anak perempuan dan laki-lakinya. Sebab di satu pihak, mereka dituntut oleh masyarakat untuk membesarkan anak-anaknya sesuai dengan "aturan anak perempuan" dan "aturan anak laki-laki". Di lain pihak, mereka mulai menyadari bahwa aturan-aturan itu melahirkan ketidakadilan baik bagi anak perempuan maupun laki-laki. Itulah sebabnya keluarga sebagai sumber utama pendidikan bagi anak-anak perlu bijak memilah ajaran-ajaran yang tepat dan yang tida tepat bagi anak-anaknya sesuai dengan porsinya masing-masing, dan tidak memaksakan aturan-aturan yang justru merusak dan menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak tersebut.
                     Kesetaraan gender dalam proses pembelajaran memerlukan keterlibatan pemerintah sebagai pengambil kebijakan alam bidang pemerintahan secara khusus di bidang pendidikan, sekolah secara kelembagaan dan terutama guru. Dalam hal ini diperlukan standardisasi buku ajar yang salah satu kriterianya adalah berwawasan gender. Selain itu, guru akan menjadi agen perubahan yang sangat menentukan bagi terciptanya kesetaraan gender dalam pendidikan melalui proses pembelajaran yang peka gender.[6] Lalu ketika kita mengacu kepada politik di mana perempuan sebagai satu kategori dalam politik ini, nampak bahwa pada dasarnya mereka berpartisipasi dalam bentuk tidak langsung yaitu sebagai wakil kelompok perempuan yang bisa merepresentasikan kepentingan kelompok mereka. Keterwakilan perempuan dalam artian ini adalah untuk menyuarakan kepentingan perempuan. Pada titik ini, yang banyak diabaikan oleh banyak kalangan, bahkan termasuk oleh kalangan perempuan sendiri, adalah bahwa kepentingan-kepentingan perempuan memang lebih baik disuarakan oleh perempuan sendiri karemna mereka yang sesungguhnya paling mengerti kebutuhan-kebutuhan perempuan. Jadi mempertimbangkan kepentingan perempuan dan melibatkan laki-laki dan perempuan dalam proses pembuatan kebijakan adalah dasar dari kerangka demokrasi yang mendorong ke arah kesetaraan dan keadilan gender. Dan ketika berbicara soal kesetaraan gender dan agama nampak bahwa laki-laki dan perempuan sering dibanding-bandingkan mengenai tingkah laku dan kemampuannya, mitos yang terus dipertahankan mengenai ketidakmampuan wanita, seperti kata Augustinus yang dikutip oleh penulis buku Seberkas Cahaya di Ufuk Timur dari bukunya Yusak Sulaiman bahwa, “secarah alamiah perempuan memiliki kapasitas dan kualitas yang lebih rendah daripada laki-laki”.[7]

4.      Refleksi Teologis
                  Menarik untuk diperhatikan bahwa asumsi tentang kedudukan perempuan di bawah laki-laki sering menjadi tekanan utama dalam pembacaan-pembacaan konservatif-fundamentalitas yang memandang bahwa agama dapat dijadikan sebagai legitimasi untuk agenda-agenda politiknya,  tetapi penempatan Kristus di bawah Allah yang seharusnya menjadi persoalan bagi mereka oleh karena selalu mengasumsikan identifikasi total antara Allah dan Kristus sebagai satu pribadi (Bapa dan Putera lebur menjadi satu) ternyata tidak dianggap masalah (ataukah pura-pura tidak dianggap masalah). meskipun dalam kalangan ini sering digembar-gemborkan tentang perhatian yang bersifat “vertical”, ternyata kalau sudah tentang masalah kedudukan perempuan, perhatian mereka sangat “horizontal”! Lantas bagaimana hubungannya antara gambar Allah yang adalah laki-laki dan perempuan dan keberadaan Allah sendiri? Kejadian 1:27 memperlihatkan hubungan antara manusia sebagai gambar Allah dan keberadaan laki-laki dan perempuan:
Maka Allah menciptkan manusia itu MENURUT GAMBARNYA, menurut gambar Allah diciptakannya dia, LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN diciptakannya MEREKA”.[8]
                  Keliru bila bagian ini ditanggap sebagai usaha untuk memahami makna manusia sebagai gambar Allah, namun sangat menolong untuk melihat bahwa manusia dibentuk menurut profil Allah, atau manusia sebagai Theomorf (dari bahasa Yunani Theos yang berarti “Allah” dan morfe yang berarti bentuk”). Jadi sebagaimana adanya bentuk manusia sekarang ini, begitulah juga bentuk, profil, bahkan body Allah. [9]
                  Untuk bagian ini kedengarannya begitu menarik namun “meskipun dalam kehidupan kita sebagai orang Kristen, wanita tidak berdiri sendiri, lepas dari laki-laki, dan laki-laki pun tidak berdiri sendiri, lepas dari wanita”. Jangankan dalam kehidupan orang Kristen, orang bukan Kristen pun akan mengakui demikian apabila ditayakan tentang relasi antara perempuan dan laki-laki.

BAB III
PENUTUP

1. Penutup
Terwujudnya kesetaran dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, dan dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, dan kontrol atas pembangunan dalam hal pendidikan dan politik serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan.Memiliki akses dan partisipasi berarti memiliki peluang atau kesempatan untuk menggunakan sumber daya dan memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan hasil sumber daya tersebut. Memiliki control berarti memiliki kewenangan penuh untuk mengambil keputusan aras penggunaan dan hasil sumber daya. Sehingga memperoleh manfaat yang sama dari pembangunan.
Hanya saja gender sering dipermasalahkan dalam hal perbedaan secara biologis antara laki-laki dan perempuan yang dipandang menjadi nilai-nilai dan norma tentang kepantasan peran, tanggung-jawab serta status laki-laki dan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam pembangunan. 
Jadi tidak benar juga tentang anggapan bahwa gerakan kesetaraan jender merupakan upaya perempuan melawan laki-laki. Yang benar adalah upaya laki-laki dan perempuan melawan sistem yang tidak adil yang terlanjur berkembang dalam masyarakat.
Tidak benar bahwa gerakan kesetaraan jender merupakan gerakan melawan agama. Yang benar adalah merupakan upaya mewujudkan nilai-nilai asasi yang diajarkan agama, yaitu keadilan. Dan gerakan kesetaraaan jender merupakan gerakan dari Barat. Yang benar adalah upaya kritik terhadap tatanan berbagai masyarakat tanpa membedakan letak geografis (Barat atau Timur).
Akhirnya, kesetaraan gender layak untuk didukung siapa saja termasuk melalui kebijakan negara, seperti kebijakan gender mainstreaming atau pengarusutamaan gender. pengarusutamaan jender dalam seluruh kebijakan. Kecuali bila negara ini atau siapa saja tetap menginginkan proses perendahan martabat kemanusiaan terus berlangsung. Oleh sebab itu, semakin banyak upaya pencerdasan masyarakat (baik laki-laki maupun perempuan) dalam hal kesetaraan jender akan sangat membantu proses perbaikan tatanan peran-peran sosial secara lebih adil dalam masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA

Singgih, Emmanuel Gerrit,
1999        Dunia Yang Bermakna –cet.1.- Jakarta: Persetia
Ani Widyani Soetjipto,
2005            Politik Perempuan Bukan Gerhana. Jakarta: Penerbit Buku Kompas

2009        Alkitab, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia (LAI)
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Agama dan kesehatan reproduksi/editor, Elga Sarapung,    Masruchah,M. Imam Azis-Cet-1.- Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Katalog Dalam Terbitan (KDT)
             Seberkas Cahaya di Ufuk Timur:Pemikiran Teologi dari       
             Makassar/editor Zakaria J.Ngelow. Makassar: STT INTIM Makassar
www.duniaesai.com/gender/index.html - Tembolok - Mirip
www.deptan.go.id/setjen/roren/.../pengertian_gender.htm - Tembolok - Mirip


[1]www.duniaesai.com/gender/index.html - Tembolok - Mirip
[2] www.deptan.go.id/setjen/roren/.../pengertian_gender.htm - Tembolok - Mirip

[3] ibid
[4] Ibid, hlm 25,27
[5] Elga cs, Agama dan Kesehatan Reproduksi (Jakarta: Yayasan Kesejahteraan Fatayat dan The Ford Foundation, 1999) hlm39-45
[6] www.duniaesai.com/gender/index.html - Tembolok - Mirip
[7] Zakaria J. Ngelow, Seberkas Cahaya di Ufuk Timur (Makassar: STT INTIM MAKASSAR, 2000), hlm 190-191
[8] Pdt. Emmanuel Gerrit Singgih, Ph. D, Dunia yang Bermakna (Jakarta: Persetia, 1999) hlm 110,118
[9] Ibid,hlm 119

Tidak ada komentar:

Posting Komentar