BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Untuk
mereka yang bergiat dalam isu perempuan mungkin sudah sering mendengar dan
paham tentang kesetaraan dan keadilan gender, namun tidak demikian dengan orang
awam atau untuk masyarakat kebanyakan. Buktinya, pertanyaan tentang itu masih
sering muncul.
Oleh karena
itu, berbeda dengan biasanya, bagian ini tidak mengupas secara khusus tentang
kekerasan terhadap perempuan, walaupun demikian masih sangat terkait dengan
persoalan kekerasan terhadap perempuan. Untuk memperbincangkan beberapa
persoalan besar itu, ada baiknya kalau kita mulai dari persoalan yang sangat
sederhana dalam kehidupan kita. Mungkin hal ini akan membantu untuk memahami
beberapa persoalan tersebut.
Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) sudah menjadi isu yang sangat penting
dan sudah menjadi komitmen bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia sehingga
seluruh negara menjadi terikat dan harus melaksanakan komitmen tersebut. Selama ini memang disadari
bahwa keberhasilan pembangunan nasional di Indonesia baik yang dilaksanakan
oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat sangat tergantung dari peran serta
laki-laki dan perempuan sebagai pelaku dan pemanfaat hasil pembangunan. Sehingga
pada pelaksanaannya sampai saat ini peran serta kaum perempuan
belum dioptimalkan. Oleh karena itu program pemberdayaan perempuan telah
menjadi agenda bangsa dan memerlukan dukungan semua pihak[1].
Dan kalau
dalam beberapa dasa warsa terakhir ini, perbincangan mengenai gender telah
menjadi salah satu agenda yang penting. Banyak seminar, konsultasi, lokakarya
maupun diskusi-diskusi pada aras lokal, nasional, regional maupun internasional
telah digelar dalam membicarakan pokok yang satu ini. Maka tulisan ini akan
mencoba membahas pertayaan-pertayaan awal tersebut yakni bagaimana sesungguhnya dengan kesetaraan dan keadilan gender
itu. Kemudian menguraikan secara kristis problem-problem kesetaraan gender dalam perspektif pendidikan, politik dan agama serta berusaha untuk mencari
solusinya. Proplem-problem kesetaraan gender ini
misalnya
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
a. Gender
Gender sering
diartikan sebagai jenis kelamin.
Jenis kelamin atau seks yang dimaksud disini adalah penan-daan
individu manusia ke dalam kategori laki-laki dan perempuan
berdasar karakteristik biologis (genital eksternal dan organ-organ
seks internal), genetik (kromosom) dan hormon.
Gender dapat
pula diartikan sebagai perbedaan-perbedaan sifat, peranan, fungsi, dan status
antara laki-laki dan perempuan yang tidak berdasarkan pada perbedaan biologis,
tetapi berdasarkan pada relasi sosial budaya yang dipengaruhi oleh struktur
masyarakatnya yang lebih luas. Gender merupakan hasil konstruksi sosial budaya
yang kemudian dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman.[2]
Konstruksi sosial ini dimaknai dalam beberapa hal misalnya tindakan dalam
kehidupan sehari-hari mengenai
b. Kesetaraan dan Keadilan
Gender
Kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan
untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu
berperan dan berpartisipasi dalam agama, kegiatan politik, hukum, ekonomi,
sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas),
serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Kesetaraan gender
juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan struktural, baik
terhadap laki-laki maupun perempuan.
Keadilan
gender adalah suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki.
Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda,
subordinasi, marginalisasi, dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki. Bentuk-bentuk
sosial dari kelima bagian ini, terutama pembakuan peran adalah berdampak lebih jauh pada peminggiran
terhadap perempuan, baik secara ekonomis, politik, sosial dan budaya. Kemudian
untuk beban ganda bagi kaum perempuan bentuk sosialnya misalnya dalam hal
politik, pemerintahan, perusahaan, sampai pada perempuan yang bekerja di
pabrik-pabrik. Lain halnya dengan subordinasi bentuk sosialnya adalah
keterlibatan dalam hal pengambilan keputusan. Lalu untuk marginalisasi bentuk
sosialnya adalah mengatur warganya melalaui perangkat hukum yang disusun
bersama. Dan untuk kekerasan adalah tindakan dan atau ucapan yang merendahkan
atau menghina misalnya manipulasi, eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan
penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan, dan isolasi sosial.
2. Bentuk Kesetaraan
a.
Kesetaraan Gender dalam Pendidikan
Banyak
laki-laki mengatakan, sungguh tidak mudah menjadi laki-laki karena masyarakat
memiliki ekspektasi yang berlebihan terhadapnya. Mereka haruslah sosok kuat,
tidak cengeng, dan perkasa. Ketika seorang anak laki-laki diejek, dipukul, dan
dilecehkan oleh kawannya yang lebih besar, ia biasanya tidak ingin menunjukkan
bahwa ia sebenarnya sedih dan malu. Sebaliknya, ia ingin tampak percaya diri,
gagah, dan tidak memperlihatkan kekhawatiran dan ketidakberdayaannya.
Ini menjadi beban yang sangat berat bagi anak
laki-laki yang senantiasa bersembunyi di balik topeng maskulinitasnya.
Kenyataannya juga menunjukkan, menjadi perempuan pun tidaklah mudah. Stereotip
perempuan yang pasif, emosional, dan tidak mandiri telah menjadi citra baku
yang sulit diubah. Karenanya, jika seorang perempuan mengekspresikan keinginan
atau kebutuhannya maka ia akan dianggap egois, tidak rasional dan agresif. Hal
ini menjadi beban tersendiri pula bagi perempuan.
Keadaan seperti ini menunjukkan adanya ketimpangan
atau bias gender yang sesungguhnya merugikan baik bagi laki-laki maupun
perempuan. Bias gender ini tidak hanya berlangsung dan disosialisasikan melalui
proses serta sistem pembelajaran di sekolah, tetapi juga melalui pendidikan
dalam lingkungan keluarga. Jika ibu atau pembantu rumah tangga (perempuan) yang
selalu mengerjakan tugas-tugas domestik seperti memasak, mencuci, dan menyapu,
maka akan tertanam di benak anak-anak bahwa pekerjaan domestik memang menjadi
pekerjaan perempuan.
Kemudian dalam masalah pendidikan secara khusus
dalam buku ajar misalnya, banyak ditemukan gambar maupun rumusan kalimat yang
tidak mencerminkan kesetaraan gender. Sebut saja gambar seorang pilot selalu
laki-laki karena pekerjaan sebagai pilot memerlukan kecakapan dan kekuatan yang
"hanya" dimiliki oleh laki-laki.
Sementara gambar guru yang sedang mengajar di
kelas selalu perempuan karena guru selalu diidentikkan dengan tugas mengasuh
atau mendidik. Ironisnya siswa pun melihat bahwa meski guru-gurunya lebih
banyak berjenis kelamin perempuan, tetapi kepala sekolahnya umumnya laki-laki.
Dalam rumusan kalimat pun demikian. Kalimat
seperti "Ini ibu Budi" dan bukan "ini ibu Suci", "Ayah
membaca Koran dan ibu memasak di dapur" dan bukan sebaliknya "Ayah
memasak di dapur dan ibu membaca koran", masih sering ditemukan dalam
banyak buku ajar atau bahkan contoh rumusan kalimat yang disampaikan guru di
dalam kelas. Rumusan kalimat tersebut mencerminkan sifat feminim dan kerja
domestik bagi perempuan serta sifat maskulin dan kerja publik bagi laki-laki.
Demikian pula dalam perlakuan guru terhadap siswa,
yang berlangsung di dalam atau di luar kelas. Misalnya ketika seorang guru
melihat murid laki-lakinya menangis, ia akan mengatakan "Masak laki-laki
menangis. Laki-laki nggak boleh cengeng". Sebaliknya ketika melihat murid
perempuannya naik ke atas meja misalnya, ia akan mengatakan "anak
perempuan kok tidak tahu sopan santun". Hal ini memberikan pemahaman
kepada siswa bahwa hanya perempuan yang boleh menangis dan hanya laki-laki yang
boleh kasar dan kurang sopan santunnya.
Dalam upacara bendera di sekolah selalu bisa
dipastikan bahwa pembawa bendera adalah siswa perempuan. Siswa perempuan itu
dikawal oleh dua siswa laki-laki. Hal demikian tidak hanya terjadi di tingkat
sekolah, tetapi bahkan di tingkat nasional. Paskibraka yang setiap tanggal 17
Agustus bertugas di istana negara, selalu menempatkan dua perempuan sebagai
pembawa bendera pusaka dan duplikatnya. Belum pernah terjadi dalam sejarah:
laki-laki yang membawa bendera pusaka itu.
Hal ini menanamkan pengertian kepada siswa dan
masyarakat pada umumnya bahwa tugas pelayanan seperti membawa bendera, lebih
luas lagi, membawa baki atau pemukul gong dalam upacara resmi sudah selayaknya
menjadi tugas perempuan. Semuanya ini mengajarkan kepada siswa tentang apa yang
layak dan tidak layak dilakukan oleh laki-laki dan apa yang layak dan tidak
layak dilakukan oleh perempuan. Bias gender yang
berlangsung di rumah maupun di sekolah tidak hanya berdampak negatif bagi siswa
atau anak perempuan tetapi juga bagi anak laki-laki. Anak perempuan diarahkan
untuk selalu tampil cantik, lembut, dan melayani. Sementara laki-laki diarahkan
untuk tampil gagah, kuat, dan berani. Ini akan sangat berpengaruh pada peran
sosial mereka di masa datang.
Singkatnya, ada aturan-aturan tertentu yang
dituntut oleh masyarakat terhadap perempuan dan laki-laki. Jika perempuan tidak
dapat memenuhinya ia akan disebut tidak tahu adat dan kasar. Demikian pula jika
laki-laki tidak dapat memenuhinya ia akan disebut banci, penakut atau bukan
laki-laki sejati.
William Pollacek dalam Real Boys menunjukkan
penemuannya, sebenarnya, bayi laki-laki secara emosional lebih ekspresif
dibandingkan bayi perempuan. Namun ketika sampai pada usia sekolah dasar,
ekspresi emosionalnya hilang. Laki-laki pada usia lima atau enam tahun belajar
mengontrol perasaan-perasaannya dan mulai malu mengungkapkannya.[3]
Penyebabnya adalah pertama, ada proses menjadi
kuat bagi laki-laki yang selalu diajari untuk tidak menangis, tidak lemah,
tidak takut. Kedua, proses pemisahan dari ibunya, yakni proses untuk tidak
menyerupai ibunya yang dianggap masyarakat sebagai perempuan lemah dan harus
dilindungi. Meski berat bagi anak laki-laki untuk berpisah dari sang ibu, namun
ia harus melakukannya jika tidak ingin dijuluki sebagai “anak mami”.
Tidak mengherankan jika banyak guru mengatakan bahwa
siswa laki-laki lebih banyak masuk dalam daftar penerima hukuman, gagal studi,
dan malas. Penyebabnya menurut Sommers, karena anak laki-laki lebih banyak
mempunyai persoalan hiperaktif yang mengakibatkan kemunduran konsentrasi di
kelas. Sementara itu, menjelang dewasa, pada anak perempuan selalu ada
tuntutan-tuntutan di luar dirinya yang memaksa mereka tidak memiliki pilihan
untuk bertahan. Satu-satunya cara yang dianggap aman adalah dengan membunuh
kepribadian mereka untuk kemudian mengikuti keinginan masyarakat dengan menjadi
suatu objek yang diinginkan oleh laki-laki. Objek yang diinginkan ini selalu
berkaitan dengan tubuhnya.
Jadilah mereka kemudian anak-anak perempuan yang
mengikuti stereotip yang diinginkan seperti tubuh langsing, wajah putih nan cantik,
kulit halus dll. Tidak heran jika semakin banyak anak perempuan mengusahakan
penampilan sempurna bak peragawati dengan cara-cara yang justru merusak
tubuhnya.
Padahal, di sekolah, siswa perempuan umumnya
memiliki prestasi akademik yang lebih baik jika dibandingkan dengan laki-laki.
Situasi dan kondisi memungkinkan mereka jauh lebih tekun dan banyak membaca
buku.
b. Kesetaraan Gender dalam
Politik
Gambaran
umum dari partisipasi perempuan dan politik di Indonesia memperlihatkan
representasi yang sangat rendah dalam semua tingkatan pengambilan keputusan,
baik di tingkat eksekutif, legislative, yudikatif, maupun birokrasi
pemerintahan, partai politik, dan kehidupan publik lainnya.
Selain
rendahnya representasi atau keterwakilan perempuan dalam kehidupan politik
dalam arti jumlah atau kuantitas, maka ada gambaran lain yang melengkapinya
yakni persoalan kualitas. Partisipasi mereka di bidang politik selama ini, jika
itu memang ada, hanya terkesan memainkan peran sekuler. Mereka hanya dilihat
sebagai pemanis atau penggembira, dan ini mencerminkan rendahnya pengetahuan
mereka di bidang politik. Perempuan sering diidentikkan menjadi mayoritas
kelompok dalam masyarakat yang paling miskin dan tertindas. Berbagai kebijakan
politik dan ekonomi di masa lalu memperlihatkan dengan jelas kepada kita betapa
perempuan menanggung beban paling berat dan penderitaan yang tiada terperi atas
nama Pembangunan Nasional yang merupakan perpaduan antara proses pembangunan
ekonomi (baca: pertumbuhan ekonomi) dan pentingnya stabilitas politik.
Ide bahwa
politik bukan wilayah bagi perempuan adalah ide yang selalu didengungkan selama
berabad-abad, dan ternyata memang sangat efektif untuk membatasi perempuan
untuk tidak memasuki wilayah itu. Akibatnya nampak bahwa di dalamnya ada
marjinalisasi dan pengucilan perempuan dari kehidupan politik. Walaupun, saat
ini hak-hak politik bagi perempuan sudah banyak diakui, namun adanya hak-hak
politik tersebut tidak menjamin adanya pemerintahan/sistem politik yang
demokratis di mana asas partisipasi, representasi dan akuntabilitasi di beri
makna yang sesungguhnya. Ini artinya adanya keterwakilan di dalamnya, dan
berbagai kebijakan yang muncul yang memiliki sensitivitas gender, tidak serta
merta terwujud meskipun hak-hak politik perempuan sudah diakui. Perempuan
sebagai warga Negara seharusnya dapat berpartisipasi secara mandiri dalam
proses demokrasi ini.[4]
c. Kesetaraan Gender dalam Agama
Walaupun
istilah gender bukan istilah agama, namun masalah gender telah menjadi masalah
agama juga. Alasannya, ketidakadilan gender masih dijumpai di dalam
agama-agama. Malahan, agama sering dituding sebagai salah satu institusi yang
melanggengkan ketimpangan dan ketidakadilan gender. Di dalam agama Kristen
khususnya nampak bahwa hidup beragama atau bergereja masih banyak diterapkan
konsep-konsep stereotype misalnya dalam hal jabatan gerejawi posisi perempuan
ditetapkan untuk tidak lebih tinggi dari laki-laki, sehingga sistem dan struktur ini yang menghambat tercapainya
kesetaraan gender. Keadaan ini tentu tidak terjadi dengan sendirinya. Sientje
Madjrentek berpendapat bahwa semua
penerapan yang menghambat terjadinya kesetaraan gender merupakan indikasi
adanya pemahaman yang keliru atas ajaran agama. Dan
problem-problem kesetaraan gender dalam agama disebabkan oleh:
1.
Paham
dualistis dalam mengerti dan menerapkan ajaran agama. Ajaran dualisme yang
kelihatan dalam macam-macam pembelahan (dikotomi) seperti jiwa-badan,
sakral-sekular, sektor publik-domestik, dll sangat mempengaruhi pemahaman dan
penerapan teologi. Pemahaman tentang laki-laki mengakibatkan pembatasan peran
dalam kegiatan keagamaan.
2.
Pengaruh
dualisme dalam teologi Kristen juga menyebabkan pertentangan.
3.
Antara
pemahaman dan penerapan. Dalam pengaruh dualisme itu, gereja yang mewakili
kerajaan Allah dan pada waktu yang sama merupakan lembaga masyarakat yang
terikat pada norma-norma yang berlaku pada tempat dan budaya tertentu, tidak
memperdengarkan suara yang tegas dalam memperjuangkan kesetaraan gender.
4.
Hal
yang menghambat tercapainya kesetaraan gender dari perspektif agama adalah
status quo dalam pemahamannya. Menurutnya, masih banyak orang beragama,
termasuk para ulama, menganut paham tersebut. Status quo ini bila diterapkan
dalam hidup beragama akan menghambat kemajuan dan pembaharuan.
5.
Hal
lain yang turut melanggengkan ketidakadilan gender adalah cara yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan dalam menggunakan dan menafsirkan kitab suci. Dimana
sebagian orang mengalimatkan hal-hal bereda dan nampaknya bertentangan di dalam
Alkitab sebagai unsure-unsur yang merendahkan. Sebagian lagi menyebutnya
sebagai aspek-aspek yang menindas. Menurut sumber-sumber tersebut, aspek yang
memuliakan dan membebaskan di dalam Alkitab nampak dalam berita tentang
penciptaan perempuan dan laki-laki sebagai gambar atau citra Allah, dan berita
tentang laki-laki dan perempuan yang satu dalam Yesus Kristus, sedangkan contoh
aspek yang merendahkan dan menindas di dalam Alkitab nampak dalam berita
tentang perempuan yang dilarang berbicara dalam ibadah.
Aspek-aspek
yang menindas lebih digarisbawahi daripada aspek-aspek yang membebaskan.
Bagian-bagian tertentu dari Alkitab yang cenderung melanggengkan ketidakadilan
gender menjadi acuan prioritas ketimbang bagian-bagian yang menyetarakannya.[5]
3. Analisis Sosial
Lalu apa yang
dapat dilakukan terhadap fenomena bias gender dalam pendidikan, politik dan
agama ini? Keterlibatan semua pihak sangat dibutuhkan bagi terwujudnya
kehidupan yang lebih egaliter. Kesetaraan gender dalam pendidikan seharusnya
mulai ditanamkan pada anak sejak dari lingkungan keluarga. Ayah dan ibu yang
saling melayani dan menghormati akan menjadi contoh yang baik bagi
anak-anaknya. Demikian pula dalam hal memutuskan berbagai persoalan keluarga,
tentu tidak lagi didasarkan atas "apa kata ayah". Jadi, orang tua
yang berwawasan gender diperlukan bagi pembentukan mentalitas anak baik
laki-laki maupun perempuan yang kuat dan percaya diri.
Memang tidak mudah bagi orang tua untuk melakukan pemberdayaan yang
setara terhadap anak perempuan dan laki-lakinya. Sebab di satu pihak,
mereka dituntut oleh masyarakat untuk membesarkan anak-anaknya sesuai dengan
"aturan anak perempuan" dan "aturan anak laki-laki". Di
lain pihak, mereka mulai menyadari bahwa aturan-aturan itu melahirkan
ketidakadilan baik bagi anak perempuan maupun laki-laki. Itulah sebabnya
keluarga sebagai sumber utama pendidikan bagi anak-anak perlu bijak memilah
ajaran-ajaran yang tepat dan yang tida tepat bagi anak-anaknya sesuai dengan
porsinya masing-masing, dan tidak memaksakan aturan-aturan yang justru merusak
dan menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak tersebut.
Kesetaraan
gender dalam proses pembelajaran memerlukan keterlibatan pemerintah sebagai pengambil kebijakan alam bidang
pemerintahan secara khusus di bidang pendidikan, sekolah secara kelembagaan dan
terutama guru. Dalam hal ini diperlukan standardisasi buku ajar yang salah satu
kriterianya adalah berwawasan gender. Selain itu, guru akan menjadi agen
perubahan yang sangat menentukan bagi terciptanya kesetaraan gender dalam
pendidikan melalui proses pembelajaran yang peka gender.[6] Lalu ketika kita mengacu
kepada politik di mana perempuan sebagai satu kategori dalam politik ini,
nampak bahwa pada dasarnya mereka berpartisipasi dalam bentuk tidak langsung
yaitu sebagai wakil kelompok perempuan yang bisa merepresentasikan kepentingan
kelompok mereka. Keterwakilan perempuan dalam artian ini adalah untuk
menyuarakan kepentingan perempuan. Pada titik ini, yang banyak diabaikan oleh
banyak kalangan, bahkan termasuk oleh kalangan perempuan sendiri, adalah bahwa
kepentingan-kepentingan perempuan memang lebih baik disuarakan oleh perempuan
sendiri karemna mereka yang sesungguhnya paling mengerti kebutuhan-kebutuhan
perempuan. Jadi mempertimbangkan kepentingan perempuan dan melibatkan laki-laki
dan perempuan dalam proses pembuatan kebijakan adalah dasar dari kerangka
demokrasi yang mendorong ke arah kesetaraan dan keadilan gender. Dan ketika
berbicara soal kesetaraan gender dan agama nampak bahwa laki-laki dan perempuan
sering dibanding-bandingkan mengenai tingkah laku dan kemampuannya, mitos yang
terus dipertahankan mengenai ketidakmampuan wanita, seperti kata Augustinus
yang dikutip oleh penulis buku Seberkas Cahaya di Ufuk Timur dari bukunya Yusak
Sulaiman bahwa, “secarah alamiah perempuan memiliki kapasitas dan kualitas yang
lebih rendah daripada laki-laki”.[7]
4.
Refleksi Teologis
Menarik untuk
diperhatikan bahwa asumsi tentang kedudukan perempuan di bawah laki-laki sering
menjadi tekanan utama dalam pembacaan-pembacaan konservatif-fundamentalitas
yang memandang bahwa agama dapat dijadikan sebagai legitimasi untuk
agenda-agenda politiknya, tetapi
penempatan Kristus di bawah Allah yang seharusnya menjadi persoalan bagi mereka
oleh karena selalu mengasumsikan identifikasi total antara Allah dan Kristus
sebagai satu pribadi (Bapa dan Putera lebur menjadi satu) ternyata tidak dianggap
masalah (ataukah pura-pura tidak dianggap masalah). meskipun dalam kalangan ini
sering digembar-gemborkan tentang perhatian yang bersifat “vertical”, ternyata
kalau sudah tentang masalah kedudukan perempuan, perhatian mereka sangat
“horizontal”! Lantas
bagaimana hubungannya antara gambar Allah yang adalah laki-laki dan perempuan
dan keberadaan Allah sendiri? Kejadian 1:27 memperlihatkan hubungan antara
manusia sebagai gambar Allah dan keberadaan laki-laki dan perempuan:
“Maka
Allah menciptkan manusia itu MENURUT GAMBARNYA, menurut gambar Allah
diciptakannya dia, LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN diciptakannya MEREKA”.[8]
Keliru
bila bagian ini ditanggap sebagai usaha untuk memahami makna manusia sebagai
gambar Allah, namun sangat menolong untuk melihat bahwa manusia dibentuk
menurut profil Allah, atau manusia sebagai Theomorf (dari bahasa Yunani Theos
yang berarti “Allah” dan morfe yang berarti bentuk”). Jadi sebagaimana adanya
bentuk manusia sekarang ini, begitulah juga bentuk, profil, bahkan body Allah. [9]
Untuk
bagian ini kedengarannya begitu menarik namun “meskipun dalam kehidupan kita
sebagai orang Kristen, wanita tidak berdiri sendiri, lepas dari laki-laki, dan
laki-laki pun tidak berdiri sendiri, lepas dari wanita”. Jangankan dalam
kehidupan orang Kristen, orang bukan Kristen pun akan mengakui demikian apabila
ditayakan tentang relasi antara perempuan dan laki-laki.
BAB III
PENUTUP
1. Penutup
Terwujudnya kesetaran dan
keadilan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi
antara perempuan dan laki-laki, dan dengan demikian mereka memiliki akses,
kesempatan berpartisipasi, dan kontrol atas pembangunan dalam hal pendidikan
dan politik serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari
pembangunan.Memiliki akses dan partisipasi berarti memiliki peluang atau
kesempatan untuk menggunakan sumber daya dan memiliki wewenang untuk mengambil
keputusan terhadap cara penggunaan dan hasil sumber daya tersebut. Memiliki control berarti memiliki kewenangan penuh untuk
mengambil keputusan aras penggunaan dan hasil sumber daya. Sehingga memperoleh
manfaat yang sama dari pembangunan.
Hanya saja
gender sering dipermasalahkan dalam hal perbedaan secara biologis antara
laki-laki dan perempuan yang dipandang menjadi nilai-nilai dan norma tentang
kepantasan peran, tanggung-jawab serta status laki-laki dan perempuan dalam
berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam pembangunan.
Jadi tidak benar juga tentang
anggapan bahwa gerakan kesetaraan jender merupakan upaya perempuan melawan
laki-laki. Yang benar adalah upaya laki-laki dan perempuan melawan sistem yang
tidak adil yang terlanjur berkembang dalam masyarakat.
Tidak benar bahwa gerakan
kesetaraan jender merupakan gerakan melawan agama. Yang benar adalah merupakan
upaya mewujudkan nilai-nilai asasi yang diajarkan agama, yaitu keadilan. Dan
gerakan kesetaraaan jender merupakan gerakan dari Barat. Yang benar adalah
upaya kritik terhadap tatanan berbagai masyarakat tanpa membedakan letak
geografis (Barat atau Timur).
Akhirnya, kesetaraan gender
layak untuk didukung siapa saja termasuk melalui kebijakan negara, seperti
kebijakan gender mainstreaming atau pengarusutamaan gender. pengarusutamaan
jender dalam seluruh kebijakan. Kecuali bila negara ini atau siapa saja tetap
menginginkan proses perendahan martabat kemanusiaan terus berlangsung. Oleh
sebab itu, semakin banyak upaya pencerdasan masyarakat (baik laki-laki maupun
perempuan) dalam hal kesetaraan jender akan sangat membantu proses perbaikan
tatanan peran-peran sosial secara lebih adil dalam masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Singgih, Emmanuel Gerrit,
1999
Dunia Yang Bermakna –cet.1.- Jakarta: Persetia
Ani Widyani Soetjipto,
2005
Politik
Perempuan Bukan Gerhana. Jakarta: Penerbit Buku Kompas
2009
Alkitab, Jakarta:
Lembaga Alkitab Indonesia
(LAI)
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Agama dan kesehatan reproduksi/editor, Elga
Sarapung, Masruchah,M. Imam
Azis-Cet-1.- Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Seberkas
Cahaya di Ufuk Timur:Pemikiran Teologi dari
Makassar/editor Zakaria J.Ngelow.
Makassar: STT INTIM Makassar
www.duniaesai.com/gender/index.html
- Tembolok
- Mirip
[3] ibid
[4] Ibid, hlm 25,27
[5] Elga cs, Agama dan Kesehatan Reproduksi (Jakarta: Yayasan
Kesejahteraan Fatayat dan The Ford Foundation, 1999) hlm39-45
[7] Zakaria J. Ngelow, Seberkas Cahaya di
Ufuk Timur (Makassar: STT INTIM MAKASSAR, 2000), hlm 190-191
[8] Pdt. Emmanuel Gerrit Singgih, Ph. D,
Dunia yang Bermakna (Jakarta: Persetia, 1999) hlm 110,118
[9] Ibid,hlm 119
Tidak ada komentar:
Posting Komentar