Senin, 30 November 2015

DOSA DAN PENYELAMATAN



Meskipun seseorang hanya tinggal di rumahnya sendiri, seorang diri saja, ia tidak bisa berkata bahwa ia tidak berdosa. Dalam Roma 3:10-18, Paulus mengutip ayat dari mazmur-mazmur, ada tertulis: “ tidak ada yang benar, seorang pun tidak”. Jelaslah bahwa semua orang adalah manusia berdosa, juga mereka yang berusaha untuk hidup sesuci mungkin (bdk. Rom.3:23) dengan kata lain, dosa kita memisahkan kita dari Tuhan yang kudus dan sempurna (dalam kebenaran dan keadilan) dan karena itu Tuhan harus menghukum dosa manusia, karena dosa adalah suatu masalah yang harus dihadapi oleh umat manusia. Tuhan sudah memberikan kepada kita dua cara untuk menghadapi masalah dosa, yaitu pengakuan dan pengampunan.
Dan di dalam Alkitab seringkali dikatakan bahwa syarat mutlak untuk mendapat pengampunan dosa atau penyelamatan adalah pengakuan  dosa. Umat Tuhan harus memberikan pengakuan kepada Tuhan dan orang lain dan menerima pengakuan dari orang-orang lain juga. Umat Tuhan harus memberikan pengampunan kepada orang lain dan menerima pengampunan dari Tuhan dan orang-orang lain. Pengakuan dan pengampunan adalah saling bergandengan.
Pengakuan dosa dalam proses konseling sangat penting. Konselor menolong konseli untuk mendapat damai sejahtera dengan orang lain maupun dengan diri sendiri, sehingga mereka dapat memberikan pujian kepada Tuhan. Dituntun agar jujur akan kelemahannya dan jujur akan kesalahan yang dilakukan, jujur akan sesuatu yang seharusnya dilakukan tapi dia tidak melakukannya, jujur akan masalah-masalah yang tidak diselesaikan, sehingga mereka secara penuh menerima pengampunan dari Tuhan. Seseorang yang datang kepada konselor untuk masalah yang dihadapinya tidak akan bisa dibantu untuk mengatasi masalahnya kalau masih berkancah di dalam dosanya. Jadi selain mengunggapkan masalah yang dihadapinya ia juga perlu untuk melakukan pengakuan dosa karena bisa menjadi kemungkinan dosa itu adalah akar masalah yang menekannya selama ini. Mereka perlu dituntun untuk mengalami perjumpaan dengan Tuhan.  Allah yang turun dari tahta-Nya yang tertinggi dan masuk dalam dunia yang berdosa ini, termasuk orang-orang yang berdosa. Banyak orang yang mengalami tekanan hidup dan tidak menyadari bahwa hal itu tentu ada kaitannya dengan dosa yang dilakukan, dan akibatnya bukan hanya dia saja yang akan menuai akibat dosa itu tapi kepada keluarganya, kemungkinan lain bahwa masalah yang dihadapinya bisa bisa terjadi karena disebabkan oleh dosa orang tuanya, neneknya atau juga dari anak-anaknya, jadi punya kaitan satu dengan yang lainnya.
Yesus sendiri banyak kali menghadapi orang – orang yang jatuh ke dalam dosa, seperti Rasul Petrus, Zakheus, perempuan berzinah dan yang lebih populer diketahui adalah ketika Yesus hadir dalam kehidupan perempuan samaria pada sekitar pukul 12 di sebuah sumur. Yesus menawarkan diri-Nya sebagai Air Hidup yang akan diminum perempuan itu dalam arti perempuan itu harus sepenuhnya mempercayakan hidupnya kepada Tuhan, dan setelah itu Yesus juga menuntun perempuan itu untuk mengakui dosa zinah yang dilakukannya (Yoh 4) Yesus hadir dalam masalah mereka dan juga mau menolong untuk lepas dari dosa yang membelenggu mereka. Yesus yang akan menyelesaikan semuanya. Jadi harus punya keterhubungan dengan Yesus yang akan menolong dia untuk menghadapi masalahnya. Yesus kekal yang akan selalu hadir dalam kehidupan anak-anak-Nya sampai kapanpun, Ia tidak sama dengan kita yang hari ini ada besok lusa tidak diketahui di mana berada.
Seorang konseli haruslah mengakui dosa pribadi. Ayat yang juga cukup populer bagi kita adalah dari Markus 1:4,5 Yohanes Pembabtis datang ke padang belantara dan menyerukan: “Bertobatlah dan berilah dirimu dibabtis dan Allah akan mengampuni dosamu”. Lalu datanglah kepadanya orang-orang dari seluruh daerah Yudea dan semua penduduk Yerusalem sambil mengaku dosa, mereka dibabtis disungai Yordan” ini merupakan jantung dari pelayanan Yohanes Pembabtis. Dan Tuhan Yesus juga memulai pelayanan-Nya dengan hal yang sama. Tuhan Yesus memanggil orang untuk bertobat dan percaya. Di dalam gereja mula-mula, pengakuan itu dilakukan di depan publik. Ketika orang-orang berkumpul untuk beribadah, mereka diharapkan untuk berdiri dan memberi pengakuan mereka, yaitu untuk mengakui dosa mereka kepada Tuhan dan sesama, dan untuk menerima jaminan pengampunan melalui pemimpin ibadah.[1]
Tulus Tu’u pun dalam bukunya Dasar-Dasar Konseling Pastoral memahami bahwa dosa adalah salah satu kekuatan yang sangat besar di dunia ini. Sayangnya, kekuatan dosa ini adalah kekuatan yang selalu mengakibatkan dan menghasilkan hal-hal buruk bagi manusia. “Jangan berbuat dosa lagi, supaya padamu jangan terjadi yang lebih buruk,” (Yoh 5:14). Dosa bila dibiarkan dan tidak diselesaikan, akan membawa hal-hal yang lebih buruk lagi bagi seseorang. Ia akan kehilangan damai, ketentraman, ketenangan, dan kebahagiaan. Dunia dapat memberikan banyak hal kepadanya. Tetapi untuk apa mendapat dunia bila harus kehilangan nyawa? Hidup seperti ini adalah hidup yang percuma sebab di sana akan akan rintihan, jeritan, air mata, batin tersiksa, kuk yang berat, dan akhirnya melumpuhkan daya batin (Mzm.107:17, Rat 1:14).  Karena itu konselor perlu menolong konseli untuk menyadari keadaan dirinya yang tidak bersih di hadapan Tuhan. Konselor mengarahkan percakapan dengan respons interpretative agar konseli mencari Tuhan dan menyelesaikan dosanya sampai akhirnya ia menemukan hidup dan damai dengan Tuhan. Damai yang sejati adalah anugerah Kristus (Yoh. 14:27) dan tidak bisa ditemukan di tempat lain. Dialah yang berkuasa menyelesaikan dosa, mengampuni, membebaskan, dan memerdekakan setiap orang dari ikatan dosa.[2]
Selanjutnya Yakub. B. Susabda menyoroti dari segi pertobatan bahwa itu adalah hal yang terumit karena melibatkan setiap aspek dalam hidup manusia. Barangkali oleh karena rumitnya atau kurangnya pengetahuan dalam bidang ini, banyak hamba Tuhan yang cenderung untuk melupakan dan tidak mengabaikan persoalan di sekitar pertobatan. Dan ada beberapa sumbangan dari ahli-ahli psikologi tentang pertobatan:
1.      Pertobatan dimana secara mendadak seorang mengalami perubahan besar dalam hidupnya, terjadi oleh karena “peristiwa perubahan” dalam otak orang yang bersangkutan
2.      Pertobatan mendadak bisa terjadi oleh karena mendapatkan konfik-konflik batiniah yang tidak terselesaikan yang selama ini dideritanya.
3.      Pertobatan mendadak bisa terjadi oleh karena orang yang bersangkutan memang sudah memiliki bakat-bakat kearah itu.
4.      Pertobatan mendadak bisa terjadi oleh karena suggesti yaitu suatu manipulasi indera manusia[3]

Jadi yang menjadi kesimpulan bahwa seseorang yang ingin dibantu untuk mengatasinya masalahnya ia perlu melakukan pengakuan dosa dan mengalami pembebasan dan penyelamatan dari Allah, meskipun itu sulit dan berat karena ada perasaan malu serta merasa harga diri akan turun tapi ia akan tetap melakukannya. Mereka dituntun untuk memahami bahwa tidak ada seorang pun yang luput dari kesalahan jadi tidak perlu takut untuk melakukan pengakuan.


[1] www.seabs.ac.id/journal/oktober2004/james%20Beck201.pdf
[2] Tulus Tu’u, Dasar-dasar Konseling Pastoral, (Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2007), hlm. 35-36
[3] Yakub B. Susabda, Konseling Pastoral- Jilid 2 (Malang: Gandum Mas, 1996), hlm. 211-217

Kamis, 29 Oktober 2015

KONFLIK DALAM KEHIDUPAN UMAT KRISTEN



BAB I
PENDAHULUAN

Konflik sangat sulit dipisahkan dari masyarakat, karena yang berkonflik tentu masyarakat itu sendiri. Konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Sama seperti yang dikatakan oleh Agus M.Hardjana dalam bukunya Konflik di tempat kerja bahwa konflik dapat melibatkan siapa saja: orang muda, orang tua; orang sederhana, orang terpelajar; orang dari rakyat jelata, orang dari kalangan atas. Dapat terjadi karena alasan apa saja, dari yang sepele, masalah jasmani, masalah rohani. Dapat timbul kapan saja: pagi, siang, malam. Dapat mengambil tempat di mana saja: di gubuk gelandangan di bawah jembatan, di rumah gendongan di kawasan elite, di istana pemimpin Negara dan raja-raja. Dapat tampil dalam intensitas bagaimana saja: lunak, keras, sangat keras. Konflik merupakan fakta nyata kehidupan yang dapat terjadi. mau tidak mau, siap tak siap, pada suatu saat dalam hidupnya orang terpaksa berhadapan dengannya. [1]
Karena dapat terjadi di mana-mana, gereja atau kalangan orang Kristen pun tidak luput, menyangkut rekan kerja atau rekan sepelayanan, sesama jemaat, sesama anggota keluarga. Jadi kalau tidak segera ditangani maka hal itu akan semakin merajalela dan mengganggu bahkan merugikan diri dan orang lain. Konflik dapat menimbulkan aksi dan reaksi dari para pelaku maupun pihak luar.
Dengan demikin kesadaran akan adanya konflik dalam kehidupan umat Kristen menjadi penting, karena dalam status dirinya sebagai manusia biasa yang hidup tidak hanya untuk dirinya sendiri melainkan hidup dengan orang lain, maka akan selalu ada peluang untuk berkonflik dengan orang lain.   
                                               



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Arti Konflik

Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) di mana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.[2] Konflik/permusuhan adalah proses sosial yang terjadi ketika pihak yang satu berusaha menyingkirkan pihak lain dengan cara menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya. Permusuhan atau konflik diawali dengan adanya perbedaan atau persaingan yang serius sehingga sulit didamaikan atau ditemukan kesamaannya. Sebenaranya konflik dapat dan sangat wajar terjadi dalam sebuah interaksi sosial.[3]
Konflik, perselisihan, percekcokan, pertentangan merupakan pengalaman hidup yang cukup mendasar, karena meskipun tidak harus, tetapi mungkin bahkan amat mungkin terjadi. seperti pengalaman hidup yang lain, konflik tidak dapat dirumuskan secara ketat. Lebih tepat bila konflik itu diuraikan dan dilukiskan. Konflik terjadi manakala dalam hubungan antara dua orang atau dua kelompok, perbuatan yang satu berlawanan dengan perbuatan yang lain, sehingga salah satu atau keduanya saling terganggu. Perbuatan dapat mengganggu karena tidak mendukung, memudahkan, membantu kegiatan dan situasi hidup yang sedang berlangsung atau malah merugikan, merusak dan melumpuhkannya. Oleh perbuatan yang menggangu itu satu atau kedua belah pihak yang terlibat dalam konflik merasa terhambat, terhalangi, tidak mungkin melaksanakan kegiatan dan melangsungkan hidup sebagaimana diinginkan, serta mencapai tujuan kegiatan dan hidupnya.[4]
Olah Schumann sendiri mengatakan bahwa sejarah manusia sejak permulaan sampai sekarang, diiringi kekerasan yang bersumber pada manusia sendiri. Segera setelah hubungan antara manusia dan Allah terputus, terputuskan pula hubungan di antara sesama manusia. Hati suami terhadap istri dan rekannya lekas mengeras dan mengeluarkan tuduhan yang hanya punya satu tujuan, yaitu menutupi kesalahan dan ketidakbenaran sendiri. lalu, langkah yang berikut menjadi lebih gawat lagi: di antara dua anak mereka timbul kecemburuan dan kebencian di pihak yang satu, sedangkan yang lain rupayanya belum sadar akan bahaya yang bangkit dengan perasaan itu, sehingga akhirnya ia kalah dan mati terbunuh.[5]
Jadi seperti yang dikatakan oleh Milburn Thompson dalam buku keadilan dan perdamaian bahwa konflik semakin tidak terelakkan. Hampir setiap orang sepakat bahwa perang merupakan cara terburuk dalam menanggapi konflik, tetapi banyak orang juga berargumentasi bahwa kadang-kadang memang dibutuhkan perang. Konflik merupakan akibat dari benturan kepentingan dan/atau gagasan. Untungnya, sering kali konflik antarnegara atau di dalam suatu Negara dapat diselesaikan tanpa kekerasan.[6]
Selanjutnya Walter Wink menyampaikan pemahamannya bahwa menurut banyak orang, kekekaran terutama dilakuka oleh para pemberontak yang menentang penindasan, dan bahwa kekerasan ini merupakan init sebab masalah kita. Padahal, yang benar adalah tata ekonomi, sosial dan politik, dimana kita hidup di dalamnya, dibangun atas dasar kekerasan, dikembangkan dengan menggunakan kekerasan, dan dikelola hanya dengan kekerasan[7]
Dapat disimpulkan bahwa konflik tidak hanya terjadi sekarang ini tapi sejak dulu ketika manusia berkonflik dengan Allah dalam ketidaktaan mereka kepada Tuhan lalu setelah itu karena adanya dosa maka konflik terus-menerus di hadapi oleh manusia.

B.     Gejala, Penyebab Konflik

Memang konflik tidak bisa diungkapkan secara terbuka, namun dapat dengan sendirinya terjadi karena karena ada yang menyebabkannya. Dan punya peluang untuk menghancurkan. Lalu apa gejala yang menandakan adanya konflik itu?  ada beberapa gejala berikut ini:[8]
1.          Perbedaan individu yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.
2.          Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.
Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
3.          Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.
Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda.
4.          Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi searah cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada.
Hugh Halverstadt dalam bukunya Konflik Gereja pula mengatakan bahwa tampaknya ada kekuatan-kekuatan tertentu yang membentuk perasaan dan perilaku pihak-pihak yang terlibat dalam konflik gereja. Ketika orang Kirsten saling berbeda karena keyakinan atau komitmen, mereka mungkin akan saling mempertayakan atau bahkan mengutuk kerohanian  atau watak pihak lainnya. Harga diri mereka dipertaruhkan. Itulah sebabnya kelompok- kelompok itu dengan mudah berubah dan menanggapi perbedaan-perbedaan itu sebagai persoalan pribadi, bahkan melangsungkan serangan-serangan pribadi. Ketika anggota jemaat merasa bahwa padangan dunia mereka atau integritas pribadi mereka dipertayakan atau dikutuk, mereka sering secara emosional menjadi kasar dan berbuat kasar. Cara apapun akan digunakan untuk membenarkan tujuan mereka yaitu untuk melindungi diri mereka secara emosional.[9]

C.    Konflik yang ditemui dalam kehidupan umat Kristen

Sebelum membahas konflik yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari, kita menoleh kepada Alkitab apa yang terjadi di sana. Dan sejak kejatuhan manusia ke dalam dosa maka disitulah awal konflik hadir di muka bumi ini. Adam dan Hawa sudah tidak menampakkan kesehatian, Adam menyalahkan Hawa bahkan Allah sebagai penciptanya "Perempuan yang Kautempatkan di sisiku, dialah yang memberi dari buah pohon itu kepadaku, maka kumakan." (bdk.Kej 3:12), setelah itu perempuan menyalahkan ular dan berlanjut kepada anak-anak mereka “Kain dan Habel”. Jadi konflik itu sepertinya warisan yang meskipun tidak direncakan dan diinginkan namun muncul secara turun-temurun. Dalam kisah hidup dan pelayanan para Rasul pun banyak kali berkonflik, bahkan Yesus banyak kali berkonflik dengan orang Farisi dan ahli Taurat.
Seperti yang diketahui di awal bahwa adanya suatu konflik disebabkan sumber konflik tersebut. Seorang pemimpin maupun orang yang berperan serta mengetahui sumber konflik sesungguhnya untuk dilakukan penyelesaian. Ada beberapa hal yang menyebabkan timbulnya konflik :
1.          Filosofi kepemimpinan dalam geraja/pelayanan yang tidak tepat.
2.          Arti persekutuan dan gereja atau sesama pelayanan yang sempit. Biasanya gereja/pelayanan hanya berkisar pada perhimpunan kehadiran dalam kebaktian dinilai sebagai kekristenan itu sendiri dan tidak memiliki dampak apa-apa kepada orang lain.
3.          Gereja ataupun pelayanan tidak punya visi atau tujuan yang jelas
4.          Masalah yang timbul bisa memicu adanya konflik.
Jadi sesuatu yang tidak dapat dimungkiri bahwa pernikahan Kristen pun tidak lepas dari kehidupan yang diwarnai dengan berbagai macam konflik. Mulai dari tingkat yang biasa sampai level yang lebih besar. Banyak keadaan sekitar yang memicu terjadinya konflik. Dan selain konflik di tengah masyarakat beberapa konflik dalam keluarga Kristen yang ditemui dalam jemaat yang tidak berbeda jauh dari yang disampaikan Andre di blog atau websitenya:
1.          Perbedaan pria dan wanita
Kebutuhan dan keinginan dari pria pastinya berbeda dari wanita. Pria cenderung praktis dan logis sedangkan wanita sistematis dan penuh perasaan.
2.          Perbedaan latar belakang keluarga
Sering terjadi konflik karena terkadang masing-masing bertahan sesuai dengan kebiasaan yang dibawa dari keluarga masing-masing.
3.          Perbedaan prioritas
Salah seorang dari mereka ingin membeli perlengkapan rumah tangga, tapi yang satunya menginginkan mereka menabung untuk persiapan anak mereka yang sementara di kandungan.
4.          Perbedaan kepribadian
Ada saat di mana salah satu dari mereka ingin bepergian dan refresing di tempat tertentu namun mendapat penolakan karena pasangannya ingin tenang di rumah menenangkan diri.
5.          Kehadiran anak
Menjadi masalah karena kadang anak dijadikan sebagai sumber masalah dan menambah beban.
6.          Anak sudah beranjak dewasa dan mulai meninggalkan rumah
Anak sudah mulai meninggalkan rumah dan lebih bergantung kepada teman-temannya. Dan ada saat di mana mereka dipaksa oleh keadaan untuk melakukan suatu pelanggaran. Orang tua yang mengetahui keadaan anak mereka akan saling menyalahkan dengan keberadaan anak bahkan bahkan saling melempar tanggung jawab.
7.          Konflik mengenai tanah/warisan
Tidak hanya terjadi dalam satu keluarga, namun terjadi antar saudara dan bahkan di dalam masyarakat.
8.          Kedudukan dalam masyarakat
Banyak yang menganggap diri sebagai tokoh masyarakat sehingga ketika ada saat dimana mereka tidak diberi tempat seperti yang mereka harapkan maka mereka akan marah. Banyak juga yang memang bukan tokoh masyarakat dengan kata lain hanya “Kios” masyarak tetapi menuntut yang tidak-tidak kepada masyarakat.
9.          Tanggung jawab untuk membayar utang (mis: pantunuan)
Keluarga Kristen banyak berkonflik di sekitar masalah adat termasuk di dalamnya adalah “Pantunuan” tentang siapa yang akan membayar utang.
10.      Persaingan antar keluarga
Bersaing mengenai kesuksesan dalam hal materi, dan yang paling menonjol adalah ketika orang tua mereka diupacarakan kematiannya maka mereka berlomba-lomba untuk memperlihatkan siapa di antara mereka yang paling banyak kerbau yang dikorbankan. Dan bagi yang punya banyak kerbau itulah yang selalu menindas mereka atau saudara mereka yang hanya memotong satu atau dua kerbau dan hal tersebut memicu terjadinya konflik di dalam keluarga.
11.      Kebutuhan tidak terpenuhi sesuai dengan yang diharapkan
Menikah dini tentu memicu konflik karena ada banyak kebutuhan yang tidak terpenuhi, misalnya kebutuhan pangan dan sandang. Ada keinginan untuk bebas tapi sudah diikat oleh keluarga dan keadaan. Banyak juga yang bermasalah panda kebutuhan seks, sehingga sering meninggalkan rumah.
12.      Kalau anak bermusuhan dengan tetangga maka orang tua juga ikut bermusuhan
Ada banyak keluarga Kristen atau orang tua yang tidak bisa menempatkan dirinya sebagai orang yang mampu mendidik anak mereka secara benar. Karena mereka terbawa dengan emosi saat anak mereka datang mengadu lalu ikut campur dan timbullah konflik bersama dengan para orang tua atau tetangga.

D.    Akibat konflik dan Penyelesaian

Ada dua akibat yang ditimbulkan yakni positif dan negatif. Positifnya bahwa dapat membangun serta memperjelas tujuan yang hendak dicapai serta perhargaan dan penerimaan satu dengan yang lain semakin terasa. Sisi negatif dapat mempengaruhi kepribadian, pengalaman, orang mudah tersinggung dan panas hati; gampang marah; berpusat pada diri sendiri dan tidak peduli akan kepentingan orang lain. selanjutnya kerugian pada harta benda dan banyak hal lainnya. Jadi jika tidak diselesaikan maka hubungan akan renggang, saling tidak percaya dan saling curiga. Dalam situasi seperti itu makin ada peluang di mana komunikasi dapat putus, tidak ada lagi kerja sama.
Ketika kita salah memilih cara penyelesaian konflik, tidak hanya kita yang merasakan dampaknya, tetapi juga dapat membuat orang lain ataupun anak-anak percaya bahwa masalah tersebut timbul karena kesalahan mereka. Juga, orang tua yang sering menyelesaikan konflik dengan pertengkaran akan membuat anak-anak mereka hidup di dalam ketakutan. Lantas apa yang akan kita lakukan? Adalah tidak memberi perlawanan kepada kekerasan, melainkan bersikap tenang dan sabar, seperti yang dikatakan Rasul Paulus dalam suratnya kepada orang Roma “kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan” (Rm 12:21). Mesti memiliki keberanian dan kemampuan untuk saling mengampuni, sakit hati dan dendam hanya bisa diselesaikan melalui pengampunan. Semestinya belajar pada sikap Yusuf terhadap saudara-saudaranya, Raja Daud kepada Saul[10]
Karena keluarga Kristen tidak lepas dari yang namanya konflik maka keluarga tersebut harus menyadari bahwa mereka menerima perutusan dari Allah, untuk menjadi sel pertama dan sangat penting bagi masyarakat. Perutusan itu akan dilaksanakannya, bila Gereja membawa dirinya menjadi bagaikan ruang ibadat Gereja di rumah[11]
Hugh Halverstadt menyodorkan langkah atau strategi bahwa konflik-konflik gereja tidak berakhir, sebelum berbagai perbedaan yang dipertikaikan itu diselesaikan. Masalah-masalah ini dapat dipecahkan dengan cara menang/kalah, kalah/kalah atau menang/menang. Tujuan etika Kristen dalam pengelolaan konflik adalah mencegah bentuk pemecahan selain penyelesaian menang/menang.[12]



BAB III
PENUTUP

Jadi kesimpulannya yaitu, semua lapisan masyarakat di muka bumi ini pernah mengalami konflik. Dalam kalangan keluarga Kristen pun tidak luput. Konflik ada manfaatnya jika diselesaikan dengan baik karena dapat membangun karakter atau pribadi seseorang namun akan sangat buruk jika diabaikan dan memberi dampak yang tidak bagus kepada orang yang terlibat dalam konflik tersebut. Selain itu bisa berkepanjangan dan mengakibatkan kepahitan yang bisa di bawa sampai mati.
Hal bijak yang perlu dilakukan adalah secepatnya menyelesaikan, jika kesulitan minta bantuan kepada orang yang punya potensi untuk dapat melakukan hal tersebut.





[1] Bdk, Agus M. Hargjana, Konflik di Tempat kerja (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1994), hlm. 5
[2] id.wikipedia.org/wiki/Konflik
[3] temukanpengertian.blogspot.com/2013/09/pengertian-konflik.html
[4] Agus M. Hargjana, Konflik di Tempat kerja (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1994), hlm. 9-10
[5] Olah H. Schumann, Agama-Agama Kekerasan dan Perdamaian (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2011), hlm. 487-488
[6] J. Milburn Thompson, Keadilan dan Perdamaian ( Jakarta; BPK Gunung Mulia, 2009), hlm. 203
[7] Walter Wink , Damai adalah Satu-Satunya Jalan (Jakarta; BPK Gunung Mulia, 2012), hlm, 19
[8] andrie07.wordpress.com/
[9]Bdk,  Hugh F. Halverstadt, Konflik Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), hlm. 2-3
[10] Bdk, Stop Kekerasan (Jakarta; BPK Gunung Mulia,2002), hlm. 39-40
[11] Bdk, Maurice Eminyan, SJ, Teologi Keluarga ( Yogyakarta; Penerbit Kanisius, 2004), hlm. 205
[12] Op,. cit Konflik Gereja. hlm. 219