BAB I
PENDAHULUAN
Konflik sangat
sulit dipisahkan dari masyarakat, karena yang berkonflik tentu masyarakat itu
sendiri. Konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan
tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya
atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan
dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Sama seperti
yang dikatakan oleh Agus M.Hardjana dalam bukunya Konflik di tempat kerja bahwa
konflik dapat melibatkan siapa saja: orang muda, orang tua; orang sederhana,
orang terpelajar; orang dari rakyat jelata, orang dari kalangan atas. Dapat
terjadi karena alasan apa saja, dari yang sepele, masalah jasmani, masalah
rohani. Dapat timbul kapan saja: pagi, siang, malam. Dapat mengambil tempat di
mana saja: di gubuk gelandangan di bawah jembatan, di rumah gendongan di
kawasan elite, di istana pemimpin Negara dan raja-raja. Dapat tampil dalam
intensitas bagaimana saja: lunak, keras, sangat keras. Konflik merupakan fakta
nyata kehidupan yang dapat terjadi. mau tidak mau, siap tak siap, pada suatu
saat dalam hidupnya orang terpaksa berhadapan dengannya. [1]
Karena dapat
terjadi di mana-mana, gereja atau kalangan orang Kristen pun tidak luput,
menyangkut rekan kerja atau rekan sepelayanan, sesama jemaat, sesama anggota
keluarga. Jadi kalau tidak segera ditangani maka hal itu akan semakin
merajalela dan mengganggu bahkan merugikan diri dan orang lain. Konflik dapat
menimbulkan aksi dan reaksi dari para pelaku maupun pihak luar.
Dengan demikin
kesadaran akan adanya konflik dalam kehidupan umat Kristen menjadi penting,
karena dalam status dirinya sebagai manusia biasa yang hidup tidak hanya untuk
dirinya sendiri melainkan hidup dengan orang lain, maka akan selalu ada peluang
untuk berkonflik dengan orang lain.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Arti Konflik
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere
yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu
proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) di mana salah
satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau
membuatnya tidak berdaya.[2] Konflik/permusuhan
adalah proses sosial yang terjadi ketika pihak yang satu berusaha menyingkirkan
pihak lain dengan cara menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya. Permusuhan
atau konflik diawali dengan adanya perbedaan atau persaingan yang
serius sehingga sulit didamaikan atau ditemukan kesamaannya. Sebenaranya
konflik dapat dan sangat wajar terjadi dalam sebuah interaksi sosial.[3]
Konflik,
perselisihan, percekcokan, pertentangan merupakan pengalaman hidup yang cukup
mendasar, karena meskipun tidak harus, tetapi mungkin bahkan amat mungkin
terjadi. seperti pengalaman hidup yang lain, konflik tidak dapat dirumuskan
secara ketat. Lebih tepat bila konflik itu diuraikan dan dilukiskan. Konflik
terjadi manakala dalam hubungan antara dua orang atau dua kelompok, perbuatan
yang satu berlawanan dengan perbuatan yang lain, sehingga salah satu atau
keduanya saling terganggu. Perbuatan dapat mengganggu karena tidak mendukung,
memudahkan, membantu kegiatan dan situasi hidup yang sedang berlangsung atau
malah merugikan, merusak dan melumpuhkannya. Oleh perbuatan yang menggangu itu
satu atau kedua belah pihak yang terlibat dalam konflik merasa terhambat,
terhalangi, tidak mungkin melaksanakan kegiatan dan melangsungkan hidup
sebagaimana diinginkan, serta mencapai tujuan kegiatan dan hidupnya.[4]
Olah
Schumann sendiri mengatakan bahwa sejarah manusia sejak permulaan sampai
sekarang, diiringi kekerasan yang bersumber pada manusia sendiri. Segera
setelah hubungan antara manusia dan Allah terputus, terputuskan pula hubungan
di antara sesama manusia. Hati suami terhadap istri dan rekannya lekas mengeras
dan mengeluarkan tuduhan yang hanya punya satu tujuan, yaitu menutupi kesalahan
dan ketidakbenaran sendiri. lalu, langkah yang berikut menjadi lebih gawat lagi:
di antara dua anak mereka timbul kecemburuan dan kebencian di pihak yang satu,
sedangkan yang lain rupayanya belum sadar akan bahaya yang bangkit dengan
perasaan itu, sehingga akhirnya ia kalah dan mati terbunuh.[5]
Jadi
seperti yang dikatakan oleh Milburn Thompson dalam buku keadilan dan perdamaian bahwa konflik semakin tidak terelakkan.
Hampir setiap orang sepakat bahwa perang merupakan cara terburuk dalam
menanggapi konflik, tetapi banyak orang juga berargumentasi bahwa kadang-kadang
memang dibutuhkan perang. Konflik merupakan akibat dari benturan kepentingan
dan/atau gagasan. Untungnya, sering kali konflik antarnegara atau di dalam
suatu Negara dapat diselesaikan tanpa kekerasan.[6]
Selanjutnya
Walter Wink menyampaikan pemahamannya bahwa menurut banyak orang, kekekaran
terutama dilakuka oleh para pemberontak yang menentang penindasan, dan bahwa
kekerasan ini merupakan init sebab masalah kita. Padahal, yang benar adalah
tata ekonomi, sosial dan politik, dimana kita hidup di dalamnya, dibangun atas
dasar kekerasan, dikembangkan dengan menggunakan kekerasan, dan dikelola hanya
dengan kekerasan[7]
Dapat
disimpulkan bahwa konflik tidak hanya terjadi sekarang ini tapi sejak dulu
ketika manusia berkonflik dengan Allah dalam ketidaktaan mereka kepada Tuhan
lalu setelah itu karena adanya dosa maka konflik terus-menerus di hadapi oleh
manusia.
B. Gejala, Penyebab Konflik
Memang
konflik tidak bisa diungkapkan secara terbuka, namun dapat dengan sendirinya
terjadi karena karena ada yang menyebabkannya. Dan punya peluang untuk
menghancurkan. Lalu apa gejala yang menandakan adanya konflik itu? ada beberapa gejala berikut ini:[8]
1.
Perbedaan
individu yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.
Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.
2.
Perbedaan
latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.
Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
3.
Perbedaan
kepentingan antara individu atau kelompok.
Manusia memiliki perasaan, pendirian
maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang
bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang
berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk
tujuan yang berbeda-beda.
4.
Perubahan-perubahan
nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi searah cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi searah cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada.
Hugh
Halverstadt dalam bukunya Konflik Gereja pula mengatakan bahwa tampaknya ada
kekuatan-kekuatan tertentu yang membentuk perasaan dan perilaku pihak-pihak
yang terlibat dalam konflik gereja. Ketika orang Kirsten saling berbeda karena
keyakinan atau komitmen, mereka mungkin akan saling mempertayakan atau bahkan
mengutuk kerohanian atau watak pihak
lainnya. Harga diri mereka dipertaruhkan. Itulah sebabnya kelompok- kelompok
itu dengan mudah berubah dan menanggapi perbedaan-perbedaan itu sebagai
persoalan pribadi, bahkan melangsungkan serangan-serangan pribadi. Ketika anggota
jemaat merasa bahwa padangan dunia mereka atau integritas pribadi mereka
dipertayakan atau dikutuk, mereka sering secara emosional menjadi kasar dan
berbuat kasar. Cara apapun akan digunakan untuk membenarkan tujuan mereka yaitu
untuk melindungi diri mereka secara emosional.[9]
C. Konflik yang ditemui dalam kehidupan
umat Kristen
Sebelum
membahas konflik yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari, kita menoleh kepada
Alkitab apa yang terjadi di sana. Dan sejak kejatuhan manusia ke dalam dosa
maka disitulah awal konflik hadir di muka bumi ini. Adam dan Hawa sudah tidak
menampakkan kesehatian, Adam menyalahkan Hawa bahkan Allah sebagai penciptanya "Perempuan
yang Kautempatkan di sisiku, dialah yang memberi dari buah pohon itu kepadaku,
maka kumakan." (bdk.Kej 3:12), setelah itu perempuan menyalahkan ular dan
berlanjut kepada anak-anak mereka “Kain dan Habel”. Jadi konflik itu sepertinya
warisan yang meskipun tidak direncakan dan diinginkan namun muncul secara
turun-temurun. Dalam kisah hidup dan pelayanan para Rasul pun banyak kali
berkonflik, bahkan Yesus banyak kali berkonflik dengan orang Farisi dan ahli
Taurat.
Seperti
yang diketahui di awal bahwa adanya suatu konflik disebabkan sumber konflik
tersebut. Seorang pemimpin maupun orang yang berperan serta mengetahui sumber
konflik sesungguhnya untuk dilakukan penyelesaian. Ada beberapa hal yang
menyebabkan timbulnya konflik
:
1.
Filosofi
kepemimpinan dalam geraja/pelayanan yang tidak tepat.
2.
Arti
persekutuan dan gereja atau sesama pelayanan yang sempit. Biasanya
gereja/pelayanan hanya berkisar pada perhimpunan kehadiran dalam kebaktian
dinilai sebagai kekristenan itu sendiri dan tidak memiliki dampak apa-apa
kepada orang lain.
3.
Gereja
ataupun pelayanan tidak punya visi atau tujuan yang jelas
4.
Masalah
yang timbul bisa memicu adanya konflik.
Jadi
sesuatu yang tidak dapat dimungkiri bahwa pernikahan Kristen pun tidak lepas
dari kehidupan yang diwarnai dengan berbagai macam konflik. Mulai dari tingkat
yang biasa sampai level yang lebih besar. Banyak keadaan sekitar yang memicu terjadinya
konflik. Dan selain konflik di tengah masyarakat beberapa konflik dalam
keluarga Kristen yang ditemui dalam jemaat yang tidak berbeda jauh dari yang disampaikan
Andre di blog atau websitenya:
1.
Perbedaan pria dan wanita
Kebutuhan
dan keinginan dari pria pastinya berbeda dari wanita. Pria cenderung praktis
dan logis sedangkan wanita sistematis dan penuh perasaan.
2.
Perbedaan latar belakang keluarga
Sering terjadi konflik karena
terkadang masing-masing bertahan sesuai dengan kebiasaan yang dibawa dari
keluarga masing-masing.
3.
Perbedaan prioritas
Salah seorang dari mereka ingin
membeli perlengkapan rumah tangga, tapi yang satunya menginginkan mereka
menabung untuk persiapan anak mereka yang sementara di kandungan.
4.
Perbedaan kepribadian
Ada saat di mana salah satu dari
mereka ingin bepergian dan refresing di tempat tertentu namun mendapat
penolakan karena pasangannya ingin tenang di rumah menenangkan diri.
5.
Kehadiran anak
Menjadi masalah karena kadang anak
dijadikan sebagai sumber masalah dan menambah beban.
6.
Anak sudah beranjak dewasa dan
mulai meninggalkan rumah
Anak sudah mulai meninggalkan
rumah dan lebih bergantung kepada teman-temannya. Dan ada saat di mana mereka
dipaksa oleh keadaan untuk melakukan suatu pelanggaran. Orang tua yang
mengetahui keadaan anak mereka akan saling menyalahkan dengan keberadaan anak
bahkan bahkan saling melempar tanggung jawab.
7.
Konflik mengenai tanah/warisan
Tidak hanya terjadi dalam satu
keluarga, namun terjadi antar saudara dan bahkan di dalam masyarakat.
8.
Kedudukan dalam masyarakat
Banyak yang menganggap diri
sebagai tokoh masyarakat sehingga ketika ada saat dimana mereka tidak diberi
tempat seperti yang mereka harapkan maka mereka akan marah. Banyak juga yang
memang bukan tokoh masyarakat dengan kata lain hanya “Kios” masyarak tetapi
menuntut yang tidak-tidak kepada masyarakat.
9.
Tanggung jawab untuk membayar
utang (mis: pantunuan)
Keluarga Kristen banyak berkonflik
di sekitar masalah adat termasuk di dalamnya adalah “Pantunuan” tentang siapa
yang akan membayar utang.
10. Persaingan
antar keluarga
Bersaing mengenai kesuksesan dalam
hal materi, dan yang paling menonjol adalah ketika orang tua mereka
diupacarakan kematiannya maka mereka berlomba-lomba untuk memperlihatkan siapa
di antara mereka yang paling banyak kerbau yang dikorbankan. Dan bagi yang
punya banyak kerbau itulah yang selalu menindas mereka atau saudara mereka yang
hanya memotong satu atau dua kerbau dan hal tersebut memicu terjadinya konflik
di dalam keluarga.
11. Kebutuhan
tidak terpenuhi sesuai dengan yang diharapkan
Menikah dini tentu memicu konflik
karena ada banyak kebutuhan yang tidak terpenuhi, misalnya kebutuhan pangan dan
sandang. Ada keinginan untuk bebas tapi sudah diikat oleh keluarga dan keadaan.
Banyak juga yang bermasalah panda kebutuhan seks, sehingga sering meninggalkan
rumah.
12. Kalau anak
bermusuhan dengan tetangga maka orang tua juga ikut bermusuhan
Ada banyak keluarga Kristen atau
orang tua yang tidak bisa menempatkan dirinya sebagai orang yang mampu mendidik
anak mereka secara benar. Karena mereka terbawa dengan emosi saat anak mereka
datang mengadu lalu ikut campur dan timbullah konflik bersama dengan para orang
tua atau tetangga.
D. Akibat konflik dan Penyelesaian
Ada
dua akibat yang ditimbulkan yakni positif dan negatif. Positifnya bahwa dapat
membangun serta memperjelas tujuan yang hendak dicapai serta perhargaan dan
penerimaan satu dengan yang lain semakin terasa. Sisi negatif dapat
mempengaruhi kepribadian, pengalaman, orang mudah tersinggung dan panas hati;
gampang marah; berpusat pada diri sendiri dan tidak peduli akan kepentingan
orang lain. selanjutnya kerugian pada harta benda dan banyak hal lainnya. Jadi
jika tidak diselesaikan maka hubungan akan renggang, saling tidak percaya dan
saling curiga. Dalam situasi seperti itu makin ada peluang di mana komunikasi
dapat putus, tidak ada lagi kerja sama.
Ketika
kita salah memilih cara penyelesaian konflik, tidak hanya kita yang merasakan
dampaknya, tetapi juga dapat membuat orang lain ataupun anak-anak percaya bahwa
masalah tersebut timbul karena kesalahan mereka. Juga, orang tua yang sering
menyelesaikan konflik dengan pertengkaran akan membuat anak-anak mereka hidup
di dalam ketakutan. Lantas apa yang akan kita lakukan? Adalah tidak memberi
perlawanan kepada kekerasan, melainkan bersikap tenang dan sabar, seperti yang
dikatakan Rasul Paulus dalam suratnya kepada orang Roma “kalahkanlah kejahatan
dengan kebaikan” (Rm 12:21). Mesti memiliki keberanian dan kemampuan untuk
saling mengampuni, sakit hati dan dendam hanya bisa diselesaikan melalui
pengampunan. Semestinya belajar pada sikap Yusuf terhadap saudara-saudaranya,
Raja Daud kepada Saul[10]
Karena
keluarga Kristen tidak lepas dari yang namanya konflik maka keluarga tersebut
harus menyadari bahwa mereka menerima perutusan dari Allah, untuk menjadi sel
pertama dan sangat penting bagi masyarakat. Perutusan itu akan dilaksanakannya,
bila Gereja membawa dirinya menjadi bagaikan ruang ibadat Gereja di rumah[11]
Hugh
Halverstadt menyodorkan langkah atau strategi bahwa konflik-konflik gereja
tidak berakhir, sebelum berbagai perbedaan yang dipertikaikan itu diselesaikan.
Masalah-masalah ini dapat dipecahkan dengan cara menang/kalah, kalah/kalah atau
menang/menang. Tujuan etika Kristen dalam pengelolaan konflik adalah mencegah
bentuk pemecahan selain penyelesaian menang/menang.[12]
BAB
III
PENUTUP
Jadi
kesimpulannya yaitu, semua lapisan masyarakat di muka bumi ini pernah mengalami
konflik. Dalam kalangan keluarga Kristen pun tidak luput. Konflik ada
manfaatnya jika diselesaikan dengan baik karena dapat membangun karakter atau
pribadi seseorang namun akan sangat buruk jika diabaikan dan memberi dampak
yang tidak bagus kepada orang yang terlibat dalam konflik tersebut. Selain itu
bisa berkepanjangan dan mengakibatkan kepahitan yang bisa di bawa sampai mati.
Hal bijak yang
perlu dilakukan adalah secepatnya menyelesaikan, jika kesulitan minta bantuan kepada
orang yang punya potensi untuk dapat melakukan hal tersebut.
[1] Bdk, Agus M. Hargjana, Konflik
di Tempat kerja (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1994), hlm. 5
[2] id.wikipedia.org/wiki/Konflik
[3] temukanpengertian.blogspot.com/2013/09/pengertian-konflik.html
[4] Agus M. Hargjana, Konflik di
Tempat kerja (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1994), hlm. 9-10
[5] Olah H. Schumann, Agama-Agama Kekerasan dan Perdamaian (Jakarta:BPK
Gunung Mulia, 2011), hlm. 487-488
[6] J. Milburn Thompson, Keadilan dan Perdamaian ( Jakarta; BPK Gunung
Mulia, 2009), hlm. 203
[7] Walter Wink , Damai adalah Satu-Satunya Jalan (Jakarta; BPK Gunung
Mulia, 2012), hlm, 19
[8] andrie07.wordpress.com/
[9]Bdk, Hugh F. Halverstadt,
Konflik Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), hlm. 2-3
[10] Bdk, Stop Kekerasan (Jakarta; BPK Gunung Mulia,2002), hlm. 39-40
[11] Bdk, Maurice Eminyan, SJ, Teologi Keluarga ( Yogyakarta; Penerbit
Kanisius, 2004), hlm. 205
[12] Op,. cit Konflik Gereja. hlm. 219